Di sela perhelatan itu, Melati – perempuan Solo yang kini bermukim di Jerman tersebut – menerima Tempo untuk sebuah wawancara khusus tentang sepak terjangnya sebagai seniman performance art. Berikut ini petikannya.
Sejak kapan Anda mendalami performance art?
Saya mendalami performance art secara serius sejak 16 tahun lalu. Saat itu, saya mulai kuliah di Braunschweig, Jerman. Kebetulan di Jerman saya mengambil fakultas seni rupa. Antara seni rupa dan performance art memiliki keterkaitan erat, karena performance art merupakan pengembangan dari seni rupa. Dalam performance art, kita lebih menggunakan tubuh sebagai media seni.
Selain di kampus, Anda belajar performance art dari mana lagi?
Di Jerman saya mempelajari performance art banyak seniman terkenal. Di sana saya juga mulai mengikuti beberapa festival internasional. Dan di sana saya banyak mendapatkan jaringan dengan sesama seniman performance art berskala internasional dari berbagai belahan dunia. Kita banyak berdiskusi mengenai perkembangan performance art, pengalaman melakukan proses dalam berkarya, hingga latar belakang pembuatan konsep.
Salah satunya saya berdiskusi dengan Nieslony, pendiri kelompok performance art papan atas, Black Market International. Dia memiliki banyak jaringan di kalangan performer.
Dari serangkaian diskusi, akhirnya kami membentuk semacam forum yang kami namakan Performance Art Laboratory Project, yang berisi seniman performance art, terutama dari wilayah Asia Tenggara. Forum tersebut sering mengadakan pertemuan di Bali. Di forum tersebut, saya menjadi perwakilan dari Padepokan Lemah Putih, Solo.
Bentuk kegiatan Performance Art Laboratory Project apa saja?
Yang jelas, kami gunakan seperti layaknya laboratorium. Kami berdiskusi, berlatih, serta melakukan presentasi dari sebuah konsep performance. Rata-rata mereka yang ikut dalam Performance Art Laboratory Project juga sudah memiliki reputasi di tingkat internasional dan memiliki network yang cukup luas.
Dari Performance Art Laboratory Project itu kemudian kami lanjutkan dengan menggelar Undisclosed Territory di Padepokan Lemah Putih, yang mulai diselenggarakan secara rutin sebagai agenda tahunan sejak 2007. Penyaji dalam Undisclosed Territory kami pilih seniman yang telah memiliki reputasi tingkat internasional agar terjaga kualitasnya.
Hebatnya, kegiatan semacam ini tidak banyak mengeluarkan biaya. Para penyaji tidak dibayar untuk melakukan pementasan. Ada sih sponsor, meski jumlahnya tidak terlampau banyak. Kebetulan beberapa seniman yang tampil juga memiliki lembaga founding.
Ke depan, apa rencana Undisclosed Territory?
Yang jelas, kami berharap acara ini bisa menjadi agenda rutin tahunan. Kami juga akan terus memilih penyaji terbaik untuk menjaga kualitas kegiatan ini. Kegiatan ini juga bukan seperti festival yang digunakan untuk mendapatkan jaringan baru.
Ahmad Rafiq