Dalam katalog pameran, Stanislaus Yangni mengatakan, peristiwa Paskah adalah salah satu hal yang paling kaya digarap, bahkan sampai sekarang. Tak sedikit seniman yang menciptakan karya karena terinspirasi kisah Paskah. “Kalau mau dikaitkan dengan pengalaman religius, rangkaian peristiwa itu bercerita banyak,” kata Yangni.
Sepintas, dalam pameran ini kita bisa menemukan figur Yesus, simbol duri, salib gereja, dan beberapa cerita Alkitab yang diartikulasikan ulang oleh para seniman. Dalam pameran ini muncul juga beberapa karya yang mengangkat tema keseharian yang berkaitan dengan pengalaman religius.
Tema-tema tersebut kemudian digarap secara berbeda oleh para perupa, antara lain, Heru’Dodot’ Widodo, Sigit Santoso, Susilo budi Purwanto, Edi Sunaryo, Endro, Teguh Ostenrik, Dwi Martono, Fx.Lucky, Titoes Libert, S.Teddy, Benk Bambang Pramudyanto, Tohjaya Tono, dan Eddy Purwantoro.
Ambil contoh Dwi Martono dalam karyanya bertajuk The Good Samaritan (2009). Karya itu bercerita tentang pengalaman kejatuhan, kekosongan, kesendirian, kesepian, dan ketakutan. Pengalamannya itu merupakan hasil pembacaannya terhadap salah satu ayat yang terdapat dalam Alkitab. Latar belakang dan figurnya senada, warnaya monokrom bernuansa merah-coklat tanah, gelap, redup, sendu, sunyi serta ditambah dengan kekuatan tekstur dan garis yang tergambar di sana.
Berbeda dengan Dwi Martono, yang memilki kekuatan pada figur-figur anonim, Benk Bambang Pramudyanto juga menggarap figur namun tak anonim, Jika kekuatan figur Dwi terletak pada garis ekspresifnya, maka Benk membangun figur melalui narasi-narasi, semacam “figuran” atau figur-figur lain yang hadir memenuhi latar belakang kanvasnya.
Dalam lukisan Benk, elemen lain yang membangun figur adalah teks, yang diistilahkan Benk sebagai ”elemen artistik”. Bagi Benk, teks ini penting. Selain sebagai pendamping, juga penegas identitas figur utama. “Karya saya itu semacam pembacaan ulang saya terhadap mereka.” kata Benk.
Karena itu, figur close-up Benk, Ibu Teresa dalam Dedikasi Hidup (2009), membutuhkan sesuatu yang lain untuk menghidupkannya. Dengan teknik komputer, maka hadirlah di belakang sosok Ibu Teresa, bapak berkacamata yang merupakan trademark rumah makan cepat saji KFC, seorang anak berkulit hitam, garpu, cap tangan, mie, dan tulisan “LOVE”.
Menurut Yangni, Agony sendiri berasal dari bahasa Yunani, yang artinya pergulatan di batas-batas kemanusiaan (pengalaman manusia di ambang kemanusiaannya). Di sana manusia berhadapan dengan dirinya, bertanya mengenai nasibnya, asal dan tujuan hidupnya.
Manusia berhadapan dengan kenyataan kematian, suatu kondisi yang tak terelakan. Agony adalah simbol dari keterbatasan manusia dan keinginan manusia untuk menjadi “yang abadi”(keyakinan terhadap adanya “dunia lain”, kehidupan lain setelah kematian). “Dalam Agony terkandung perasaan semacam shock, kekagetan, keheranan, kekaguman, depresi, dan kecemasan yang sangat dalam” kata Yangni
Melalui pameran ini Yangni berharap, Paskah mampu menjadi lebih dari sekadar suatu peristiwa yang melahirkan simbol-simbol Kristiani, melainkan sebagai seni yang menginspirasi kita untuk bisa kreatif dalam ruang kosong.
“Salib atau simbol apapun dalam Paskah, hanya bisa menjadi bahasa pembebasan, asalkan kita berani bereksperimen untuk melahirkan bahasa dan nilai bagi diri sendiri,” ujar Yangni.
HERRY FITRIADI