Namun saat Nunung menyeberang, tiba-tiba sebuah skuter menyeruduknya. "Gubrak...!" Nunung terjatuh, kakinya terluka. Sementara itu, sang pengendara skuter terjungkal tak jauh dari tunggangannya.
"Bung kira ini jalanan punya bung! Seenaknya saja jalan tidak lihat-lihat," hardik Nunung. Sang pemuda, yang belakangan diketahui bernama Toto itu, berusaha menolongnya. "Saudara, tidak apa-apa? Biar saya antar," katanya.
"Tidak usah, jangan pegang-pegang!" Nunung membentak pemuda itu. Toto kian kikuk, permintaan maafnya kandas, malah dihardik di depan kerumunan massa. "Ya, ampun galaknya," ujar seseorang yang heran melihat Nunung mengamuk.
Meski Nunung menolak, Toto tak patah arang. Diam-diam, Toto membuntutinya hingga tujuan. Tak berselang lama, Toto sudah muncul di teras rumah Nunung, berpakaian rapih lengkap dengan karangan bunga di tangannya.
Nana, adik Nunung, menerima tamu itu dengan pandangan takjub. "Ada orang gagah mencarimu," kata Nana kepada Nunung yang masih terbaring lemas di tempat tidur.
Itulah awal kisah romantika cinta segitiga yang terjadi dalam sebuah keluarga yang menjadi cerita utama film Tiga Dara. Kehadiran Toto menyita perhatian Nana yang agresif (diperankan oleh Mieke Wijaya). Adapun Toto sudah jelas jatuh cinta kepada Nunung (Chitra Dewi), yang ketus dan pendiam, sejak insiden tabrakan.
Tiga Dara, film produksi 1956 yang berkisah tentang romantika tiga anak perawan itu, kembali diputar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, pada Rabu sore lalu. Setelah puluhan tahun, film karya sineas kawakan Usmar Ismail (almarhum) itu hadir kembali sebagai penutup perhelatan Bulan Film Nasional 2010 yang digelar Kineforum dan Dewan Kesenian Jakarta.
Meski produksi jadul dengan kondisi seadanya, Tiga Dara tetap menjadi kisah yang menarik. Bahkan di jamannya film itu sangat fenomenal. Para penikmat sinema Indonesia banyak yang meletakkan film produksi Perfini itu pada deretan film terbaik.
Konflik cinta segitiga makin seru dengan munculnya si bungsu Nenny yang cerdik. Saat cinta Toto telah berpaling dari Nunung ke Nana, Nenny (Indriati Iskak) dan sang ayah justru merencanakan siasat merebut kembali cinta Toto untuk Nunung.
Bukan karena mereka pro Nunung, tapi keduanya hanya ingin mewujudkan obsesi sang nenek, yang menginginkan Nunung segera menikah. "Kalau dilangkahi Nana, Nunung bisa jadi perawan tua," kata sang nenek geram.
Sepintas, kisah garapan Usmar Ismail tersebut memang sederhana. Bahkan tak perlu berpikir keras untuk memahami dan menebak akhir film tersebut. Tapi bila melihat akting para pemain dengan penokohan yang kuat dan pengambilan gambarnya yang apik, tak berlebihan jika memberikan dua acungan jempol untuk film yang juga dibintangi Bambang Irawan dan Fifi Young tersebut.
Yang membuat Tiga Dara hebat, kisah sederhana film itu juga dibungkus oleh skenario menarik dan alur cerita yang rapih serta bisa dinalar. Kesan kaku dan jadul bahkan tak muncul dalam adegan. Penggunaan bahasa sehari-hari yang luwes membuat film, yang skenarionya ditulis sendiri oleh Usmar Ismail, itu menjadi dekat dengan penonton.
Di jamannya, film musikal hitam-putih tersebut menorehkan penghargaan Piala Citra pada Festival Film Indonesia pada1960-an untuk tata musik terbaik. Selain itu, Tiga Dara menjadi salah satu film terlaris Indonesia era 1950-an.
Kuatnya pesona film itu membuat sineas Rudy Soedjarwo kepincut. kembali Sejak 2004, Rudy berniat membuat versi baru Tiga Dara dengan mengusung tiga artis besar: Kris Dayanti, Dian Sastro, dan Siti Nurhaliza. Konsep pakem ceritanya masih sama, namun suasananya dialihkan ke masa kini. Tapi hingga lima tahun berselang, niat itu tak ada kabar.
Memang, dari sisi kualitas gambar, film Tiga Dara yang diputar Rabu sore lalu itu masih di bawah standar, sehingga membuat mata kurang nyaman. Meski begitu, film berdurasi 116 menit itu tetap menarik dari segi alur cerita, karakter para tokoh, dan akting para pemainnya.
Tiga Dara boleh dibilang jauh berbeda dengan film-film nasional sekarang. Sementara sebagian besar film sekarang cenderung jauh dari realitas sosial dan menjual mimpi, Tiga Dara menyuguhkan permasalahan sosial yang nyata saat ini. Bahkan, film itu jauh dari kesan membodohi masyarakat.
AGUSLIA HIDAYAH