TEMPO Interaktif, BANDUNG - Di titik kilometer 0 itulah kampung yang penuh rawa sisa air danau purba mulai berubah. Berawal dari perintah Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1810, “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” (Usahakan, bila aku datang kembali ke sini, sebuah kota telah dibangun!), Bandung kini berwajah metropolitan. Sesak oleh kendaraan dan pendatang, kota yang semula dirancang sebagai kota peristirahatan berselimut udara sejuk pegunungan itu pun kian gerah dan sibuk.
Hiruk pikuk itu paling tidak tergambar di lapangan Gasibu pada hari Minggu yang penuh oleh pedagang kaki lima dan pembelinya. Atau aktivitas di Pasar Baru, juga arus kendaraan yang tak putus di depan Gedung Merdeka. Itulah suasana Kota Kembang yang ditampilkan Erland Sibuea di Galeri Kita, Bandung. Pameran bertajuk "200 Sketsa Bandung dalam Hitam Putih" itu berlangsung hingga 6 April. Pada pembukaan acara. 23 Maret lalu, pelukis yang kini bermukim di Bali itu sekaligus meluncurkan bukunya. Judul dan isi bukunya sama seperti yang dipamerkan, namun dalam ukuran kertas yang lebih kecil.
Jumlah 200 karya sengaja disiapkan seniman kelahiran 15 Maret 1967 itu untuk peringatan 2 abad Kota Bandung tahun ini. Terbagi dalam beberapa tema atau kelompok, sketsa juga menampilkan diantaranya para tokoh Kota Bandung, seperti Daendels, Bupati R.AA. Martanegara, Dewi Sartika, dan Bosscha. Juga warisan gedung-gedung kuno yang dipakai sebagai kantor pemerintahan, sekolah, atau rumah dinas pejabat, serta kuliner, para pekerja non-formal, dan suasana Bandoeng tempo doeloe.
Sejak tiga tahun lalu, dari 2007 hingga 2009, Erland duduk di pinggir jalan untuk membuat sketsa langsung di tempat. "Rasanya emosi lebih kena," katanya. Sebagian kecil gambar lainnya ia garap di Bali. Untuk membedakannya dengan sketsa yang dibuat dari foto pun mudah. Lihat saja gambar yang agak rapi, hampir rinci dan penuh hingga ke sudut-sudut kertas. Sedangkan hasil sketsa on the spot, umumnya lebih sederhana dan fokus pada obyek utama.
Menurut Erland, ia sengaja mengangkat karya-karya sketsa karena keahlian dasar menggambar itu telah dipandang sebelah mata oleh banyak seniman. Sketsa dianggap cuma gambar awal kasar yang tak pantas dipamerkan sebagai karya seni. Pun di kampus seni rupa, mahasiswa merasa terbebani dengan keharusan membuat puluhan sketsa tiap pekan. "Sketsa cuma dianggap batu loncatan saja sebelum (melukis) ke abstrak atau yang lain," ujarnya. Padahal, lanjutnya, sketsa juga bernilai seni dan menarik dipandang.
Semula, proyek gambar itu akan dikerjakan bersama istrinya, Ni Ketut Ayu Sri Wardani. Tapi karena lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung tersebut sibuk melukis dan menggelar sejumlah pameran, Erland akhirnya jalan sendiri walau sempat tak yakin mampu menghasilkan ratusan sketsa.
Maklum saja, sarjana dari Teknik Industri ITB itu baru belajar melukis 10 tahun lalu setelah bergaul dengan para seniman kolega istrinya. Dari sekedar menggambar garis lurus selama kuliah teknik, Erland belajar mengenal sifat garis. "Ternyata ada tebal tipis garis yang maknanya berbeda," ujar mantan karyawan Industri Pesawat Terbang Nusantara atau sekarang PT Dirgantara Indonesia itu.
Sayangnya, 200 sketsa itu masih kurang lengkap untuk menunjukkan wajah Bandung yang sebenarnya. Tak ada satu pun misalnya, gambar kemacetan panjang, lubang-lubang besar di berbagai jalan raya dan komplek perumahan, atau banjir cileuncang (sesaat) yang langganan hadir setiap musim hujan dan menjadi keluhan warga bertahun-tahun. Bahkan Persib yang menjadi simbol kedua Kota Bandung pun luput dari perhatiannya. Goresan Erland tampak masih seperti seorang turis yang senang dibawa berkeliling ke pusat-pusat keramaian sambil melihat kegiatan warga dan mengagumi gedung-gedung kuno.
Apa boleh buat, banyak sketsa itu yang akhirnya jadi terlihat biasa, karena obyeknya mudah dijumpai dari atas kendaraan di jalan raya. Padahal Erland pernah menetap 13 tahun dan mengaku Bandung sebagai rumahnya, bukan Medan kota kelahirannya, atau Denpasar tempat bermukimnya sekarang.
Sebagai rumah, luas Bandung memang tak sebesar masalah didalamnya. Dan sketsa patung piala Adipura yang terakhir kali diraih kota itu pada 1997, tak cukup kuat untuk menyentil persoalan sampah di kota metropolitan yang dihuni 2 juta orang lebih tersebut.
ANWAR SISWADI