Dalam catatan kuratorialnya Agung Hujatnikajennong menyatakan, dalam kebudayaan populer, peran dan aspek-aspek ketidaksadaran manusia ‘dirayakan’ sebagai sebuah gerakan tandingan (counter movement) anak muda dekade 1960-an. “Seni-seni yang berkembang pada masa itu sarat dengan eksperimentasi yang menejelajahi pemikiran dan ‘alam’ yang tak terjamah, dalam ketidaksadaran, mimpi dan fantasi,” katanya.
Populernya penggunaan medium seperti LSD, obat-obatan psikoaktif, dan mariyuana semakin menegaskan era itu sebagai manifestasi kebudayaan psikedelik terbesar abad 20. Terinspirasi oleh manifestasi kebebasan dalam kebudayaan psikedelik, pameran ini hendak menampilkan karya-karya yang dipercaya melibatkan aspek ketidaksadaran dalam penciptaannya.
Namun, ketidaksadaran tidak hanya difahami sebagai suatu kondisi akibat proses konsumsi medium psikoaktif/ sikotropika, melainkan lebih jauh daripada itu. Karya-karya yang bersumber pada spiritualisme transendental, semangat primitivisme, dan lain-lain akan disandingkan bersama di bawah payung besar pasca-psikedelia.
Menurut Agung, istilah psychedelia digunakan sebagai pijakan untuk mengivestigasi peran dan aspek ketidaksadaran dalam wilayah praktik artistik, khususnya seni rupa. Merujuk pada pengertian dalam bahasa Yunani, Psychedelic sesungguhnya sangat berhubungan dengan jargon ekspresi diri: Psyche (soul, jiwa) dan Delein (manifesto, manifestasi).
Nurdin Kalim/Pelbagai sumber