Pengalaman serba pertama menjadi ayah itulah yang diolah oleh Soni hingga menjadi tema utama pameran tersebut. “Tema ini memang sesuatu yang sangat personal, yang terkesan sederhana namun ternyata tak semua orang punya kesempatan untuk mencatat dan mengekspresikan pengalamannya itu,” kata Kurator Alia Swastika.
Soni menampilkan tujuh lukisan kontemporer. Ketujuh karyanya itu berkisah tentang perjalanan sang seniman, dari bujangan, menikah, hingga memiliki seorang anak. “Pameran ini merupakan gambaran perjalanan Soni ketika menjadi pria single sampai ia menikah, terutama pengalaman pertama Soni menjadi ayah,” ujar Wisnu Bharata, Staff Semarang Gallery.
Ketujuh karya Soni yang dipamerkan itu, antara lain, bertajuk Home For Permata Ungu, At The Backstage, Kepala di antara Kepala, Don't Cry, dan A Hope For Empty Space. Selain dipamerkan, lukisan-lukisan tersebut juga dijual belikan kepada pengunjung yang berminat. “Untuk yang berukuran 150 x 150 sentimeter sekitar Rp 18 juta. Adapun untuk ukuran 150 x 200 sentimeter dihargai Rp 23 juta,” kata Wisnu.
Karya Soni mulai mendapat perhatian luas dari khalayak seni rupa ketika ia memenangi penghargaan Phillip Moris melalui karyanya bertajuk Bangun Dari Mimpi Buruk Yang Indah pada 2001. Belajar secara formal pada jurusan seni grafis di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Soni kemudian mengeksploitasi berbagai media, termasuk lukisan maupun instalasi.
Dalam katalog pameran, Kurator Alia Swastika menyatakan, apa yang dikerjakan Soni mejadi sesuatu yang lazim, terutama karena petualangan ketika seseorang baru menjadi seorang ayah. “Ini seperti pengalaman membuka rimba tak bertuan, karena dikerjakan dengan kejujuran atas pandangan personal sehingga memberikan makna yang berbeda,” ujarnya.
Karya Soni, tutur Alia, adalah perjalanan awal untuk membuka selubung perasaan, agar ia tak dilupakan dan hanya menguap di udara. “Meski kecil dan sederhana, Soni membicarakan sesuatu yang nyata dan ada.”
Herry Fitriadi