Lukisan bertajuk Menuju Surga itu merupakan akhir dari perjalanan sang capung. Pelukisnya, Gabriella Prima Puspita Sari, juga memamerkan 11 karya lain di Vivi Yip Art Room, Jakarta, 27 Maret-17 April. Semua lukisan bercat akrilik itu menggambarkan capung. Tema “Sehari” diusung untuk melukiskan kehidupan capung selama 24 jam. “Capung menjadi teman imajiner saya,” kata perupa produktif berusia 29 tahun yang mulai mengeksplorasi capung sejak dua tahun lalu ini.
Kehidupan capung dibagi oleh Sari menjadi empat bagian: pagi, siang, sore, dan malam. Warna biru dan hijau mendominasi pagi dan siang. Pada bagian sore, merah dan jingga seperti senja sangat kuat. Adapun bagian malam kental dengan hitam dan diakhiri dengan putih pada Menuju Surga.
Perjalanan capung dimulai dari Aku Bukan (Lagi) Bonekamu. Dalam lukisan ini, sosok capung hitam memiliki sayap hijau muda. Warna latar hijau tua ditambah sejumlah cipratan merah tetap terlihat kontras dengan sayapnya. Lima garis putih membentuk kurva seperti baru saja terlepas dari kepala, tubuh, dan ekor capung. Sari agaknya ingin menunjukkan pagi yang membebaskan si capung untuk mulai menerbangkan hidupnya.
Selanjutnya, capung berkelana ke berbagai tempat. Salah satunya tempat sampah yang tergambar dalam Elegi Sampah. Tubuh capung yang tetap hitam dan diselubungi warna putih berada di sekeliling tumpukan sampah, kebanyakan berupa botol plastik. Di dekat capung terdapat cipratan merah dan tiga anak panah membentuk hati berwarna hijau tanda daur ulang. Sampah dilukiskan tak terlalu jelas dengan warna kuning kusam. Latar belakang sampah ini berwarna kuning keabu-abuan.
Penggunaan warna yang nyaris senada ini memang kerap dijumpai dalam karya-karya Sari. Dalam Rise of the Prince, misalnya, tubuh dua capung dikelilingi warna biru keabu-abuan. Lukisan itu sendiri dipenuhi warna biru tua dengan cipratan abu-abu dan putih. Toh, Sari mampu meramu warna dengan tone nyaris sama ini sehingga tetap terlihat menarik dan kontras.
Dalam karya lain, Sari justru menunjukkan keberanian menggunakan warna sangat kontras. Friendship--melanjutkan perjalanan serangga ini--melukiskan enam capung, dua di antaranya bersayap oranye dan hijau daun, satu putih, serta tiga hitam. Penggabungan keenamnya dengan latar belakang putih, merah, abu-abu, dan biru kelam ini terlihat padu dan menunjukkan kecerahan.
Begitu jua dalam Benci Tivi. Warna oranye pada sayap capung dan cokelat muda dari televisi terkombinasi apik dengan latar belakang merah darah dengan cipratan abu-abu dan biru tua.
Bentuk cipratan atau tetesan memang selalu muncul dalam karya Sari. Bentuk cipratan yang berbeda-beda dan kombinasi warna justru memperkaya lukisannya. Semua bentuk dalam lukisan ini merupakan hasil desain Sari di komputer yang diproyeksikan ke kanvas. Proses selanjutnya, “Dibuat sketsanya dan saya beri warna,” ujar perupa yang menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini.
Karya-karya Sari juga menjadi citra pengalaman hidupnya. Contohnya, Sari melukiskan kereta dorong bayi dalam Messages from the Stroller. Karya yang masuk dalam bagian pagi ini terinspirasi oleh kebiasaannya membawa putranya yang masih balita berjalan-jalan.
Begitu juga dengan Kisah Dapur. Sari menggambarkan seekor capung di antara sodet, wajan, gelas, pisau, garpu, dan peralatan masak-makan lainnya. Lukisan ini terinspirasi oleh kesukaannya memasak. Sangat jelas terlihat rutinitas kehidupan sehari-hari dan tema aktual seperti lingkungan menjadi jalan cerita dalam melukis kehidupan capung.
Sari juga merefleksikan kehidupan lain yang lebih besar dalam Trah. Di situ tergambar seekor capung dengan tubuh dikelilingi warna emas. Dari kepalanya, garis emas melengkung dan memanjang ke atas membentuk batang pohon. Di kiri-kanan batang utama terbentuk cabang yang juga membentuk ranting-ranting kecil, salah satunya berwarna merah.
Jadilah pohon tanpa daun berbentuk lebih dari separuh lingkaran sempurna terhubung dengan si capung. Seolah mengesankan capung itu merupakan bagian dari kehidupan lain yang tak terhitung banyaknya. Warna hijau kelam dan corak biru keunguan serta hijau muda memperkuat pesan tersebut.
Meski kaya akan warna, sayangnya rupa-rupa posisi tubuh capung seperti kurang dieksplorasi Sari. Hampir semua capung dihadirkan dalam keadaan biasa, dengan sayap terkembang. Hampir tak ada keunikan dari para capung selain pelukisan jaring-jaring dan warna sayap. Sangat mungkin capung-capung itu akan lebih bercerita melalui ekspresi tubuh lainnya, sehingga perjalanan capung tentu makin jauh dari membosankan seperti yang sudah digambarkan Sari.
PRAMONO