TEMPO Interaktif, Sebuah perbincangan antara Ki Semar, Gareng, dan Petruk tergambar dalam lukisan itu. Para punakawan, tokoh pewayangan yang menjadi simbol rakyat kebanyakan, itu tengah asyik berbincang tentang kondisi negara dengan penuh guyon.
"Whealah, sing bener durung mesthi pener (Wah, yang benar belum tentu tepat)," kata Ki Semar dalam balon percakapannya melihat kota. Lalu Petruk berbisik kepada Gareng, "Romo kuru mikir negoro (Bapak kurus karena memikirkan negara)." Dengan serta-merta, Gareng menyambut, "Ati-ati sing comment (Hati-hati kalau berkomentar)," ujarnya sambil menggenggam ponsel pintarnya yang terhubung dengan situs jejaring sosial.
Memang Ki Semar, yang aslinya berperawakan besar, oleh Dani A. Yunarto digambarkan sangat kurus. Hingga perutnya yang membuncit, disisakan kulit yang menggelambir di kanan-kiri. Sebuah paradoks ketika punakawan dihadirkan untuk membaca zaman yang serba modern.
Ki Semar Prihatin, begitulah Dani memberi judul lukisan komiknya tersebut. Lukisan Dani itu adalah salah satu karya yang disuguhkan dalam pameran bertajuk "The Comical Brothers" di Galeri Nasional, Jakarta. Pameran yang diikuti 22 perupa dan komikus itu digelar sejak 22 Maret lalu hingga besok.
Menurut kurator Bambang Toko Witjaksono, ide pameran ini memang ingin menunjukkan bagaimana perkembangan komik, yang selama ini bersinggungan dengan wilayah seni rupa. "Saat ini muncul tren lukisan yang disebut lukisan komikal," kata Bambang. "Padahal itu sebenarnya lukisan-lukisan naratif."
Istilah lukisan komikal, tutur Bambang, muncul pada sekitar 2006. Secara penyebutan memang baru, tapi sebetulnya gejala ini sudah ada pada awal 2000-an. Pernah pada tahun itu komikus sekaligus seniman Nano Warsono menuliskan kegelisahannya atas munculnya seniman yang melukis dengan gaya komikal ini. "Saat itu Nano mempertanyakan apakah lukisan naratif ini merupakan modifikasi komik menjadi fine art," dia menjelaskan.
Baca Juga:
Salah satu karya Nano yang disajikan dalam pameran itu adalah No Fair. Bentuknya bukan lukisan komikal, melainkan instalasi komikal. Di sana terlihat anak perempuan yang menangis meski telah mendapatkan daging bagiannya. Tak begitu dengan anak lelaki di sampingnya, yang mendapat bagian lebih banyak. Rupanya anak perempuan itu menangisi ketidakadilan di sini.
Ada lagi karya Ismail Sukribo. Ia menampilkan sederet cerita "Sukribo", yang rutin dimuat di harian Kompas edisi Minggu. Ceritanya menggelitik, menangkap fenomena keseharian. Dipenuhi sentilan-sentilan yang kadang sentimentil, ringan, kocak, bahkan bodoh. Saijah dan Kerbaunya adalah salah satu lukisan tanpa balon kata, namun cukup kuat membawa pesan. Menangkap kejadian demonstrasi dengan membawa kerbau akhir-akhir ini.
Karya Surya Wirawan, Super Ndobos, menyajikan sederet gambar komik dalam empat kisah yang terpisah: Digoda Mau Dong, Ampas, Anti Suap, dan Tanam Padi Tumbuh Gedung. Cerita yang disampaikan Surya sangat ringan namun mengkritik apa yang telah dilakukan pemerintah di negeri sendiri.
Lalu, karya Ugo Untoro dengan lukisan realisnya yang menggambarkan seorang dewa yang luput menyelamatkan manusia. Hingga manusia itu terjatuh dan akhirnya menemui ajalnya.
Boleh dibilang, karya-karya yang muncul dalam pameran The Comical Brothers sangat menarik. Karya-karya tersebut juga menunjukkan kebangkitan komik nasional, yang perkembangannya sempat mengalami pasang-surut.
Sepanjang 1960-1970-an, komik kita pernah ramai sekali. Menginjak 1980-an, komik sempat menghilang. Menurut Bambang, sebetulnya muncul lagi pada awal 1990, meski tak berumur panjang. Saat itu muncul Caroq. Ada juga Kapten Bandung dan Awatar Comics, yang lahir di Bandung, Jawa Barat, pada 1995. Isinya cenderung mirip komik yang laris waktu itu, jagoan gaya Amerika atau kisah kehidupan gaya komik Jepang.
Pada 1990-an, komik indie mulai muncul di Yogyakarta. Awalnya adalah Pure Black Comic, yang dipelopori oleh Sapto Raharjo. Lalu pada 1994 ada Core Comic, yang menjelma menjadi Apotik Komik oleh Samuel Indratama, Arie Dyanto, Popok Triwahyudi, dan Bambang Toko. Saat itu juga muncul Taring Padi dengan media propaganda yang menyertakan komikal di dalamnya.
Memasuki 2000, Eko Nugroho muncul dengan Daging Tumbuh-nya. Ia mempengaruhi geng-geng komik yang masih bertahan hingga sekarang. Pada pameran ini, Eko masih menampilkan karya berjudul DGTMB Shop dengan teknik muralnya.
Bambang menyatakan pameran ini memang berangkat dari semangat komik indie, yang melawan arus utama komik saat ini. "Komik tak hanya menjadi dunia hiburan dan canda tawa di lingkungan anak-anak," ujarnya.
Pemilihan seniman yang ikut serta dalam pameran ini, tutur Bambang, tak sekadar karena intensitas mereka membuat komik. Namun lebih kepada mereka yang sadar bahwa komik adalah media yang dipilih untuk berkarya dan berekspresi sekaligus menyampaikan pesan. l ISMI WAHID