Kotak kayu berisi topeng-topeng itu sejatinya adalah sesuatu yang serius. Paling tidak menurut penciptanya, Wyn Gede Budayana, 26 tahun, perupa lulusan Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta. “Ini kritik saya terhadap dunia pertelevisian Indonesia saat ini,” kata Budayana.
Budayana membuat lima kotak kayu yang disangga empat kaki. Di dalam kotak-kotak kayu berpenutup kaca transparan itu berisi topeng warna-warni. Ada yang berisi dua topeng, ada yang berisi tiga topeng dan ada juga yang berisi lima buah topeng. Karya instalasi ini kemudian ia beri judul Televisi.
Televisi hanyalah satu dari belasan karya Kelompok Payung yang disuguhkan dalam pameran bertajuk “Belah Duren” di Bentara Budaya Yogyakarta, sepanjang 23-31 Maret 2010. Kelompok Payung ini terdiri atas Ida Bagus Wiradnyana, Made Ngurah Sadnyana, Ngurah Tri Marutama, Wyn Gede Budayana, dan Anak Agung Ngurah Suryawijaya.
Budayana menilai, materi tayangan televisi Indonesia sudah terlalu vulgar, dari infotainmen hingga berita. “Para pengelola televisi sepertinya tidak peduli lagi kepada penontonnya. Artis-artis yang muncul dalam tayangan infotainmen juga tidak lagi mempedulikan citra buruk yang mungkin muncul,” ujarnya. “Materi berita di televisi justru sering jadi media provokasi, makin memperburuk situasi.”
Kesan negatif terhadap dunia pertelevisian itu kemudian diekspresikan ke dalam karya instalasi. Tidak ada topeng berbahan kayu Pule itu tampil dengan ekspresi senyum. Sebagian besar bahkan terlihat sedang menjulurkan lidahnya, seperti sedang mengejek kepada penontonnya. Keahlian Budayana membuat topeng ini diwarisi dari kakeknya. Budayana sendiri justru lulusan seni lukis ISI Yogyakarta pada 2008.
Begitulah. Jika Budayana mengkritisi dunia pertelevisian Indonesia, perupa Made Ngurah Sadnyana, 32 tahun, memilih momen perayaan Nyepi untuk mengritisi perilaku manusia melalui lukisannya yang berjudul Day of Silent. Alumnus ISI Yogyakarta tahun 2006 ini menghadirkan sebuah mobil berwarna kuning dan sebilah keris yang menancap di kap mesin. Seekor burung bertengger di ujung keris itu.
Menurut Sadnyana, tidak hanya manusia, namun benda juga harus “silent” ketika Nyepi. Sadnyana sengaja menampilkan mobil dan keris sebagai simbol status sosial. Maka, ketika Nyepi, semua orang harus kembali pada jatidirinya sebagai manusia, melepaskan semua simbol-simbol keduniawian.
Pameran “Belah Duren”, menurut Hendra Himawan, diterjemahkan sebagai membelah keperawanan nalar. “Karya yang mereka presentasikan merupakan penetrasi dari setiap gagasan ke dalam medium ungkap yang mereka pilih dan mereka jiwai,” tulisnya dalam katalog pameran.
Heru CN