TEMPO Interaktif, Jakarta - Ruang teater di Komunitas Salihara, Jakarta, yang berkapasitas 300 orang itu penuh oleh penonton yang ingin menyaksikan pementasan Opera Diponegoro karya Sardono W. Kusumo pada Jumat malam lalu. Karya ini dipentaskan kembali di tempat yang sama pada pukul 20.00 malam ini.
Sardono mengaku sedang berusaha menafsirkan ulang Babad Diponegoro, baik versi Yogyakarta maupun Surakarta, ke dalam bentuk tari kontemporer. Dengan penampilan sederhana koreografer senior Indonesia itu bercerita tentang proses penciptaan karyanya ini pada Jumat lalu di Teater Kecil Salihara. Berikut ini petikan wawancaranya.
Baca Juga:
Opera Diponegoro pernah dipentaskan pada 1995 dan 2009 lalu di New York. Apa beda dengan pertunjukan saat ini?
Sebetulnya tahun 2008 lalu karya ini pernah dipentaskan secara besar-besaran di Keraton Yogyakarta. Waktu itu pementasannya membutuhkan pemain sekitar 200 orang. Naskah ceritanya pun sedikit lebih panjang dan naratif. Kalau pertunjukan sekarang sama dengan pentas 2009 lalu di New York. Garapan ini hanya dengan sedikit penari, yaitu lima orang, dan ceritanya lebih sastrawi. Penarinya sekaligus melagukan tembang babad itu dalam setiap dialognya.
Pertunjukan tari ini diangkat dari Babad Diponegoro, baik versi Yogyakarta maupun Surakarta. Bagaimana prosesnya?
Saya melakukan riset panjang, termasuk mempelajari Babad Diponegoro versi Yogyakarta dan selalu berdiskusi dengan Peter Carey, peneliti sejarah dari Inggris yang mendalami Babad Diponegoro versi Surakarta. Keduanya berisi tema yang sedikit berbeda. Versi Yogyakarta bercerita tentang biografi Diponegoro. Sedangkan versi Surakarta berisi cerita perang dan perjuangan Diponegoro saat itu. Lalu, dari dua babad itu kemudian saya rangkum dan saya tafsirkan menjadi opera semacam ini.
Dalam gelaran tari ini juga memakai tampilan visual lukisan Raden Saleh, Penangkapan Diponegoro. Apakah bahan dari Babad Diponegoro tidak cukup untuk mencipta narasi ini?
Lukisan Raden Saleh saya gunakan untuk membantu visualisasi penonton. Bahkan, sebelum pertunjukan saya meminta bantuan Peter Carey untuk menjelaskan kepada audiens terkait lukisan Raden Saleh ini. Ini sebagai pengantar gambaran untuk masuk ke opera tersebut.
Apa yang membuat Anda tertarik dalam pertunjukan ini?
Diponegoro adalah sosok yang sangat mengagumkan. Dalam garapan ini ada yang menarik bagi saya setelah saya mempelajari dua versi babad itu dan menfasirkan ulang. Ada tiga level objek yang menarik. Pengadeganan Diponegoro bertemu dengan Jendral De Kock sama nyatanya ketika berdialog dengan arwah para wali yang disucikan dan sama nyatanya pula ketika berjumpa dengan Ratu Kidul. Sisi humanis dan spiritualis Diponegoro muncul di sini.
Bagaimana sosok seorang Diponegoro menurut tafsiran Anda?
Diponegoro itu, ya, seperti pertunjukan ini. Sangat komplek.
• Ismi Wahid