TEMPO Interaktif, BANDUNG - Kain blacu putih menutupi hampir seluruh pintu, jendela, juga dinding bagian dalam Gedung Indonesia Menggugat, Bandung. Lantai marmer bangunan bersejaraj tempat persidangan Soekarno pada 1930 itu juga dihampari kain yang biasa untuk membungkus jenazah.
Awalnya sempat muncul rasa gamang ketika menginjak kain kafan itu karena terlihat masih bersih dan baru. Rasa bersalah pun beriringan dengan langkah kaki yang menambah noda. "Kenapa harus takut kotor, itu mungkin bisa kasih inspirasi," kata Hanafi yang terdengar setengah menggugat.
Di atas kain dekat pintu masuk, berderet 7 sosok patung dari rangka besi. Berdiri sambil menyatukan kedua jari di belakang kepalanya yang gundul, tubuhnya dilapisi kain berwarna merah, biru, ungu, dan putih bermotif bunga-bunga. Sepasang selop di bawah masing-masing patung yang ikut dipasangi sehelai celana dalam berwarna putih itu menyesuaikan corak bajunya.
Tak jauh dari situ, sebuah bak besar dari logam berbentuk segi empat diletakkan melintang. Isinya dipenuhi bantal-bantal putih kecil. Alat tidur yang dibentuk seperti segitiga tumpul, kacang mede, dan bulan sabit itu juga tergolek bergerombol memanjang di lantai sekitar bak. Beberapa lainnya mengisi sudut ruangan lain.
Semua itu melengkapi pameran tunggal karya pelukis kelahiran Purworejo, 5 Juli 1960 tersebut. Khusus pada pemakaian lembaran kain putih dan kekotoran yang dirancang bersama kurator Herry Dim, bagian itu menjadi semacam jembatan untuk masuk ke tema pameran tunggal bertajuk Nyanyian Angsa. Ekskursi yang menjadi bagian dari rangkaian acara Bandung Mengenang Rendra itu dibuka 28 Oktober hingga 16 November.
Tak hanya mencomot judul itu dari puisi naratif WS Rendra, Hanafi juga menyerap habis isinya. Sarinya setelah mengendap selama 20 tahun selama ia membaca berulang-ulang puisi itu, dituangkan menjadi 25 lukisan dan karya instalasi. Karena tembok bangunan yang selama ini tak lazim dipakai untuk pameran lukisan itu tak cukup, sebagian karya terpaksa disimpannya.
Nyanyian Angsa dibuat Rendra saat berada di Amerika Serikat pada 1965. Berkisah tentang Maria Zaitun, sejumlah pengamat menilai tokoh itu identik dengan Maria Magdalena. Nama yang muncul dalam Injil itu antara lain disebutkan sebagai orang yang pernah dirasuki 7 setan lalu diusir oleh Yesus, perempuan berdosa yang membasahi kaki Yesus dengan air mata, serta sering dikaitkan dengan kisah perempuan yang berbuat zinah. Dalam karya Rendra, Maria Zaitun adalah pelacur tua yang sengsara.
Kisahnya berawal dari pengusiran mucikari karena Maria Zaitun hanya bisa terbaring sakit selama dua minggu. "Kamu tak lagi hasilkan uang. Malahan kepadaku kamu berhutang. Ini beaya melulu. Aku tak kuat lagi. Kamu harus pergi."
Sambil menahan demam karena sipilis, Maria Zaitun pergi tanpa koper. Tujuan pertamanya adalah ke dokter, sekaligus demi memeriksa sakit jantungnya yang kambuh. Tapi dokter yang sering diutanginya tak mau memberi obat, melainkan hanya suntikan vitamin C. "Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan," kata perawat. "Untuk apa? Ia tak bisa bayar. Dan lagi sudah jelas ia hampir mati. Kenapa mesti dikasih obat mahal yang diimport dari luar negeri?"
Dari sana ia mendatangi gereja untuk mengaku dosa. "Pater, dengarkan saya. Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya. Yang nyata hidup saya sudah gagal. Jiwa saya kalut. Dan saya mau mati. Sekarang saya takut sekali. Saya perlu Tuhan atau apa saja untuk menemani saya." Tapi pastor yang sambil mengisap cerutu setelah makan siang itu menolaknya. "Kamu galak seperti macan betina. Barangkali kamu akan gila. Tapi tak akan mati. Kamu tak perlu pastor. Kamu perlu dokter jiwa."
Akhirnya Maria Zaitun sampai di kali, lalu membasahi tubuhnya yang penuh borok hingga ke selangkangan. Teringat masa kecilnya ketika mandi bersama ibunya, memanjat pohon, dan memancing bersama pacarnya. Hingga ia bertemu mempelai, seorang lelaki yang luka di kedua telapak tangan dan kakinya, serta di lambung kiri. "Aku tahu siapa kamu." Lalu sambil menari, ia masuk ke taman firdaus dan memakan apel sepuasnya.
Bagi Hanafi, Maria Zaitun adalah dirinya, dan siapa pun manusia dengan beragam nama yang sedang berada di puncak penderitaan. Lulusan Sekolah Seni Rupa Indonesia Yogyakarta yang mengaku pernah mengalami masa seperti itu, secara sadar masuk ke ’tubuh’ Maria. "Saya menjadi Maria Zaitun terlebih dulu untuk mengungkapkan ini semua," katanya. Selama 3 minggu di studio, ia melukisnya dengan dasar kain kanvas yang sengaja dibalik, dari dalam untuk di luar.
Tubuh Maria yang digali dengan emosi penuh, hadir sendirian tanpa wajah dan sehelai benang. Penderitaan perempuan yang digambarkan berambut panjang itu ditunjukkan dengan berbagai pose kehidupannya sehari-hari. Satu per satu lukisan menggambarkan ia tengah berdiri tengadah, tengkurap, rebah terlentang, juga mengangkangkan kaki. Pada beberapa kanvas, suasana itu dijelaskan lewat sisipan selarik puisi Nyanyian Angsa.
Tak cuma lewat tubuh Hanafi bercerita, tapi juga dengan gincu merah menyala. Berujung runcing, bentuk pemulas bibir itu dibentuk bercabang serupa salib atau hydrant di pinggir jalan. Pada karya lain, ia menyandingkan pil obat Salvarzan yang dibutuhkan Maria Zaitun dengan vitamin C. Kepayahan hidup itu makin lengkap dengan sejumlah jarum-jarum yang menancap di tubuh, hujan batu-batu hitam, dan leleran cat seperti keringat atau darah.
Kesuraman, seperti sinar matahari yang terhalang masuk ke ruang pamer, ditegaskan oleh sapuan akrilik warna gelap. Apa boleh buat, selipan warna cerah seperti kuning dan putih pada kanvas tak mampu menghadirkan suasana cerah. Walau begitu, lewat metafora tubuh yang memanggul batu besar di punuknya, Hanafi punya kesan sendiri soal Maria Zaitun. ”Dia itu seorang yang gagah, menghadapi seluruh keperihan hidupnya dengan tetap melangkah,” ujarnya.
Dalam kanvas sekitar 4 meter -terpanjang diantara sederetan lukisan yang semuanya tak berjudul- penderitaan Maria seperti mencapai puncaknya. Dengan kepala terkulai, tangannya terentang dan dipaku pada salib. Namun yang lebih menohok ada pada kanvas di seberangnya. Sebuah gergaji asli tertancap merobek kain, menusuk tepat di bagian kemaluan Maria Zaitun yang duduk mengangkang.
Kurator Herry Dim mengatakan, pameran Hanafi sebagai ’kado telat untuk Mas Willy’ ini termasuk yang paling ’gila’ dan total setelah pameran tunggalnya di Galeri Nasional, Jakarta, beberapa tahun lalu. Dorongan itu muncul dari energi keberpihakan yang begitu kuat terhadap rasa kemanusiaan. Rendra sendiri, kata dia, menempatkan tokoh Maria Zaitun dalam wilayah kemanusiaan yang mendasar.
Masalah kemanusiaan yang dibicarakan WS Rendra 44 tahun lalu, menurut Hanafi, hari ini masih kontekstual. ”Manusia itu tidak bisa dibuang begitu saja, dihina, dinistakan, oleh sesama karena kehormatannya bisa hilang,” katanya. Kehormatan untuk bertahan hidup itulah yang dilihatnya makin terkikis. Berbeda, katanya, dengan para koruptor yang merendahkan dirinya sendiri. Seperti mucikari yang mengusir Maria Zaitun.
ANWAR SISWADI