TEMPO Interaktif, Jakarta - Ruang semiterbuka berukuran 2 x 2,5 meter berlantai kayu itu menjadi tempat keluarga Anang Rizky Noor di Ciganjur, Jakarta Selatan, menghadap Sang Pemberi Hidup. Tak terlalu luas, "Cukup untuk berjemaah sekeluarga, sekitar 5-6 orang," ujar Anang, Rabu lalu. Juga tak mewah.
Tembok pembatasnya hanya di-kamprot. Di sebelah kiri ruang itu masih ada bidang kosong berlantai semen, yang tempatnya rendah, berukuran sekitar 5 x 4 meter. Antara tembok pembatas dan bidang berlantai semen terdapat taman kering yang ditanami keladi dan ditutup kerikil. Di salah satu sisi temboknya ditempatkan rak buku.
Musala rancangan arsitek Adi Purnomo itu adalah jawaban keinginan Anang. Pegawai Pertamina itu ingin musalanya selaras dengan konsep rumah tropisnya, yang sederhana, dan tidak "memenjara" orang yang salat hanya dengan Tuhan. "Saya ingin hubungan yang seimbang antara hubungan manusia dan Tuhan." Juga terhindar dari gelap, gerah, dan lembab.
Selain untuk salat, tempat itu menjadi favorit tempat keluarga berkumpul, membaca, pertemuan keluarga, bahkan kongko sejawat Adi, para arsitek. Orang tak malas ke tempat itu, meski untuk menjangkaunya harus melintasi ruang lain dan pepohonan.
Ruangan seperti musala, kata Adi, sebenarnya bukan hal baru. Rumah-rumah tradisional mengenal tempat khusus yang disucikan. Rumah tradisional Jawa, misalnya, memiliki sentong tengah, bilik yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda pusaka. Rumah-rumah Bali juga biasanya memiliki tempat sembahyang, yang biasanya ditempatkan di pojok.
Saat ini, kata Adi, kebanyakan rumah--terutama yang dibangun pengembang--digunakan seluruhnya untuk kegiatan manusia. Orang kerap tak ingat bahwa rumah yang kita tinggali adalah ruang yang kita "pinjam" dari kehidupan. Fungsi ruang khusus itu mengingatkan kita terhadap ruang yang kita pinjam. Karena itu, musala harus menghadirkan suasana lebih tenang sehingga memungkinkan penghuninya mengendapkan pikiran dan batin. "Harus cukup tenang untuk salat dalam waktu pendek, juga lama. Sendirian atau bersama."
Ada beberapa cara menciptakan suasana "khusus" itu di musala, di antaranya menggunakan mezzanine atau lantai tambahan--yang berada antara tingkat pertama dan kedua sebuah rumah atau bangunan--serta memperhatikan sekat dan materi, bukaan, serta pencahayaan. Tapi tak perlu ruang khusus yang tertutup.
Posisi rumah tak kalah pentingnya karena akan mempengaruhi arah kiblat dan bukaan. Posisi musala di rumah yang menghadap barat, kata Adi, akan lebih mudah daripada sebaliknya. Musala yang menghadap bukaan rumah sulit menciptakan suasana khusyuk karena orang yang melintas akan sangat mengganggu konsentrasi.
Arsitek Medwin Farizkhan dari Annahape Design di Bintaro, Jakarta Selatan, mengatakan hal yang sama. Musala memang harus menghadap kiblat dan dindingnya harus tertutup agar tidak mengganggu konsentrasi saat beribadah. Ruangan pun harus dingin agar penghuninya tenang beribadah.
Penempatan musala boleh terpisah atau menyatu dengan bangunan inti. Masing-masing dengan kekurangan dan kelebihannya. Yang berada di dalam rumah akan sangat terpengaruh oleh kegiatan penghuni rumah lainnya sehingga membuat ibadah terganggu. Sedangkan musala yang terpisah biasanya kurang praktis sehingga penghuni rumah memilih salat di tempat beraktivitas lainnya.
Kelebihannya, suasana musala yang terpisah dari rumah akan lebih tenang dan desainnya bisa lebih maksimal. Akan halnya musala yang menyatu dengan ruangan, ruangan ini akan lebih sering dikunjungi penghuni rumah.
Meski demikian, kelemahan bisa diakali. Suasana mengganggu pada musala yang berada di dalam rumah bisa disiasati dengan bermain akustik dan menempatkannya tak terlalu dekat dengan ruang keluarga, yang biasanya relatif ramai. Musala yang terpisah dari rumah bisa diakali dengan jalan, taman, dan konsep yang atraktif.
Lebih dari sekadar materi dan tampilan visual, kata Adi, suasana "khusus" itu harus hadir karena akan mempengaruhi sikap. "Rasa 'khusus' itu harus ada dan suasana beribadahnya harus kena," kata arsitek peraih Indonesian Institute of Architects Award tersebut. Dan, rasa yang "khusus" itu bergantung pada niat kuat pemilik rumah membuat musala.
Jangan lupakan:
- Tempat wudu
- Tempat menyimpan mukena dan Al-Quran
- Rehal. Perabot ini bisa sekaligus menjadi aksesori.