TEMPO.CO, Jakarta - Penyair, Soni Farid Maulana meninggal pada Ahad dinihari, 27 November 2022 sekitar pukul 04.00 WIB. Jenazahnya dikebumikan hari ini di Taman Pemakaman Umum Kampung Nagrak, Kabupaten Ciamis. “Kiprah Soni dalam perkembangan puisi sangat tidak bisa dilupakan, kiprahnya sangat besar,” kata Ahda Imran, rekan almarhum.
Kenalkan Puisi Sonian
Menurut Ahda, Soni sangat serius dalam puisi. Ia tergolong produktif dalam membuat puisi dan buku. Soni juga mengenalkan puisi Sonian yang polanya seperti haiku atau puisi singkat dari Jepang. Isi puisi Sonian berpola membagi kalimatnya dengan formasi 6, 5, 4, dan 3 suku kata. “Pada awalnya sempat muncul kontroversi, tapi Soni tidak mau mundur dengan pola itu,” kata Ahda.
Baca Juga:
Sepengetahuan dia, puisi Sonian juga diterapkan oleh penyair di negeri jiran seperti Malaysia dan Brunei. Kontribusi besar Soni dalam bidang sastra yaitu kecintaannya pada puisi dan mendukung kemunculan penyair-penyair muda. Ahda, yang juga penyair dan penulis, pernah sekantor bersama Soni di Harian Umum Pikiran Rakyat, Bandung.
Penyair, Soni Farid Maulana meninggal pada Ahad, 27 November 2022. Istimewa
Sosok Soni menurutnya pendiam, serius, dan baik. Minatnya sangat besar pada puisi, juga teater, sesuai jurusannya ketika kuliah di kampus yang kini bernama Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung. “Selain itu Soni juga menyukai seni Cianjuran yang menginspirasi karya puisinya,” kata Ahda.
Kiprah Soni Farid Maulana Sebagai Penyair
Kiprah Soni sebagai penyair muncul sejak 1980-an. Setelah pensiun, dari Bandung ia pindah tinggal di Ciamis, kampung halaman istrinya. Beberapa tahun terakhir, penyair kelahiran Tasikmalaya, 19 Februari 1962 itu dikabarkan menderita sakit. Sebelum berpulang, Soni menerima Anugerah Budaya dari Kota Tasikmalaya pada 14 November lalu sambil memakai kursi roda.
Kumpulan puisinya antara lain berjudul Bunga Kecubung (1989), Dunia Tanpa Peta (1985), Krematorium Matahari (1985), Para Penziarah (1987), Matahari Berkabut (1989), Guguran Debu (1994), Panorama Kegelapan (1996), Lagu dalam Hujan (1996), dan Sehabis Hujan (1996).
Kemudian Angsana (2007), Sehampar Kabut (2006), Secangkir Teh (2005), Variasi Parijs van Java (2004), Tepi Waktu Tepi Salju (2004), Selepas Kata (2004), Kalakay Mega (1992), dan Peneguk Sunyi (2009).
ANWAR SISWADI
Baca: Komunitas Salihara Kenang dan Rayakan 100 Tahun Chairil Anwar
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.