TEMPO.CO, Yogyakarta - Belasan tubuh menggeliat di dalam kain sarung kuning. Kadang membuat gerakan membungkuk, meliuk ke kiri, ke kanan di atas panggung. di sisi tengah, sosok perempuan memunculkan wajahnya dari dalam kain. Membuat gerakan menggeliat. Menggambarkan prosesi kelahiran si bocah bajang, si buruk rupa.
Bocah bajang punya tubuh serba besar. Hidung dan sepasang mata yang besar. Keningnya menonjol dan giginya bertaring besar. Sayangnya, ia tak diakui sebagai anak oleh ayahnya, seorang begawan. Adegan sendu ketika bocah bajang memeluk kaki ibunya, lalu ayahnya, sebelum hengkang menuju hutan.
Namun bajang adalah bocah digdaya. Kesaktiannya melebihi kakaknya, Sumantri. Ia juga yang membantu Sumantri memindahkan tamansari dalam waktu sekejap. Itu adalah syarat berat agar Sumantri bisa meminang Dewi Candrawati untuk dipersembahkan kepada junjungannya, Arjunasosrobahu.
Rupanya, campur tangan bocah bajang ketahuan. Tak mau menanggung malu, Sumantri melepas anak panah. Bocah bajang pun tewas. Arwahnya muncul tersorot lampu di balik latar panggung. Kecil, lalu menghilang.
Adegan gladi resik pertunjukan teatrikal tari Bedhayan Bocah Bajang di Gedung Laboratorium ISI Yogyakarta, 16 Oktober 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Pertunjukan di Institut Seni Indonesia
Adegan tari berjudul Bedhayan Bocah Bajang yang tampil dua kali di Laboratorium Seni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada 17 Oktober 2022 dan Taman Budaya Yogyakarta pada 19 Oktober 2022 itu cukup mencuri perhatian penonton. Lantaran diadopsi dari novel Anak Bajang Mengayun Bulan yang ditulis budayawan, Sindhunata.
Adegannya mengingatkan tontonan Sendratari Ramayana. Bedanya, di atas panggung garapan sutradara, Bimo Wiwohatmo ini, Bedhayan Bocah Bajang menonjolkan unsur teatrikal. Tapi tanpa dialog. Komunikasi antar pemain dibangun dengan gerak dan tetembangan.
Butuh waktu delapan bulan bagi Bimo untuk menggarap karya kolaborasi itu. Dimulai dari perbincangannya dengan Sindhunata, si empunya novel pada 2021. Dan menjadi tantangan, karena Bimo ingin mewujudkan karya sastra itu dalam bentuk karya pertunjukkan, yakni tari. Apalagi saat novel itu diluncurkan, pernah pula direspons dalam bentuk pameran seni rupa.
“Dan jujur saja, sampai karya ini digelar, saya belum bisa menyampaikan makna tersirat dari karya sastra itu,” aku Bimo, si koreografer, saat gladi resik di Laboratorium Seni ISI Yogyakarta, 16 Oktober 2022 malam.
Pengakuan Sindhunata
Adegan gladi resik pertunjukan teatrikal tari Bedhayan Bocah Bajang di Gedung Laboratorium ISI Yogyakarta, 16 Oktober 2022. TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Apalagi meringkas novel tebal itu menjadi satu jam pertunjukkan panggung. Tapi Bimo tak sendiri. Selain memboyong para penari Bimo Dance Theatre ke panggung, ia juga berkolaborasi dengan pelaku seni lain. Ada Nita Azhar yang menggarap kostum dengan tampilan serba cokelat susu berpadu warna putih yang dikenakan pemain. Ada perancang musik dan tari Gandung Djatmiko.
Juga kolaborasi tata panggung dan tata lampu yang menampilkan unsur seni rupa. Latar panggung hanya serupa papan besar transparan. Ada citraan seperti relief kumpulan awan pada papan itu. “Itu hanya dari dekron buat isi bed cover yang ditempel-tempel,” celetuk perancang tata panggung, Beni Susilo Wardoyo. Sederhana.
Sorot lampu proyektor menampilkan wajah bulan besar, suasana malam, juga terang dan warna warni. Menjadi suguhan tontonan artistik lain, selain atraksi tari para penarinya selama satu jam.
Sindhunata pun membuat sebuah ‘pengakuan’ dalam tulisan katalog pementasan itu. Bahwa dunia seni bukan hanya sastra. Sekadar sastra saja, tak kuaasa menangkap dan mengungkapkan kekaayaan imajinatif itu. Masih ada seni tari yang mengungkapkan apa yang tak cukup diungkapkan dalam sastra. “Sastra akhirnya menemukan keterbatasannya juga,” tulis Sindhunata.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca juga: Tari Sonteng dari Jawa Barat Pikat Diplomat di Ekuador
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.