TEMPO.CO, Jakarta - Penyanyi, Ardhito Pramono merilis album penuh perdananya bertajuk Wijayakusuma pada Rabu, 13 Juli 2022. Lewat delapan lagu dalam Wijayakusuma, Ardhito melahirkan karya sendiri dengan sentuhan Indonesia sebagai dasar utamanya.
“Gue melihat banyak sekali dampak kurang baik dari karya gue selama ini yang menggunakan bahasa Inggris,” ungkap Ardhito. “Misalnya, teman-teman musisi baru yang akhirnya ikut memilih menggunakan bahasa Inggris dalam karyanya. Gue tidak ingin bahasa kita lenyap digantikan oleh bahasa asing dalam sebuah pengkaryaan.”
Demi mencapai tujuan tersebut, Ardhito mendapat banyak arahan dari Narpati ‘Oomleo’ Awangga yang juga menulis beberapa lirik di Wijayakusuma. Ardhito akhirnya menulis lirik-liriknya dengan padanan aksara Indonesia yang beragam.
Single pertama yang berjudul sama dengan nama album, memuat pilihan kata yang jarang digunakan, dipadu dengan bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh pelaku macapat bernama Peni Candra Rini. Ada pula padanan yang tersusun cukup gamblang seperti “Berdikari” maupun “Rasa-rasanya”, hingga yang dibalut ambiguitas pada “Daun Surgawi” juga “Asmara”.
“Album ini adalah keresahan, penyesalan, keindahan, dan hal-hal yang terjadi di beberapa tahun belakangan,” katanya. “Lewat album ini, sekiranya gue ingin melampiaskan dan memotret beberapa kejadian yang terjadi.”
Ardhito Pramono. Dok. Aksara Records
Elemen nusantara dalam Wijayakusuma juga Ardhito sematkan ke seluruh aransemen musik hingga caranya bernyanyi. Jika di karya-karya sebelumnya terpancar energi crooner ala Sinatra, Crosby, hingga Bennett, album yang berada di bawah label rekaman Aksara Records ini justru pekat akan kualitas pop Indonesia periode empat hingga lima dekade silam.
Wijayakusuma adalah cerminan eksperimen Keenan Nasution, Margie Segers, Chrisye, Rafika Duri, Dian Pramana Poetra, Rien Djamain, Utha Likumahuwa, hingga Candra Darusman. Ia berada di spektrum pop dengan kekayaan ala chamber, autentik milik Indonesiana, juga sarat alun selayaknya jazz. Upaya eksplorasi ini Ardhito lakukan bersama produser Gusti Irwan Wibowo, Erikson Jayanto, dan Hezky Y.H. Nainggolan.
“Sepertinya album ini menjadi album yang 30 tahun sekali gue rilis,” kata Ardhito. “Karena sejujurnya gue tidak tahu kapan gue bisa membuat lagu-lagu seperti ini lagi. Kesempatannya cuma sekali dalam 30 tahun. Seperti kebetulan yang terjadi ketika orang sedang bermain jazz, kebetulan itu tidak akan terulang kembali."
Wijayakusuma menjadi kumpulan karya keenam darinya setelah lima album pendek beruntun Ardhito Pramono (2017), Playlist, Vol. 2 (2017), a letter to my 17 year old (2019), Craziest thing happened in my backyard (2020), dan Semar & Pasukan Monyet (2021).
Baca juga: Ardhito Pramono Kembali Berkarya, Luapkan Kecemasan di Lagu Wijayakusuma
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.