TEMPO.CO, Jakarta - Seniman asal Bali Citra Sasmita, menjadi salah satu seniman yang akan menjalankan residensi karya di Belgia. Citra merupakan satu dari tiga seniman Asia Tenggara yang terpilih mendapatkan residensi dari Delegasi Uni Eropa dan Nanyang Technological University (NTU) Singapura dalam program SEA AiR. Ketiga seniman ini dipilih dari 24 seniman yang diusulkan dalam seleksi awal oleh anggota tim seleksi.
Citra mengatakan dirinya bisa masuk dalam seleksi setelah dinominasikan oleh seniman senior Melati Suryodarmo. Citra akan menjalankan residensi mulai April mendatang selama tiga bulan hingga Juli. Selama di Belgia dia akan mendapatkan seorang mentor dari seniman di Academy WIELS, di Brussels. Setelah residensi dia akan menghasilkan karya.
“Saya belum tahu karya akan berbentuk apa, tapi nanti hasil residensi menjadi sebuah karya yang akan dipamerkan pada akhir tahun,” ujar Citra kepada Tempo baru-baru ini.
Citra mengatakan dalam residensi di Belgia akan banyak mengeksplorasi arsip terkait kolonialisme. Dia mengatakan selama ini dia banyak berkarya mempunyai portofolio, dan konsep karya terkait sejarah kolonialisme di Bali dan Indonesia. Menurutnya ada perspektif yang berbeda antara negara-negara barat dan timur tentang kolonialisme. “Saya pengen investigasi, bagaimana prespektif kolonialisme. Pasti berbeda,” ujar Citra lagi.
Konsep karya Citra mengeksplorasi dari akar konteks lokal kemudian dibawa ke konteks modern. Selama ini Citra juga banyak mengeksplorasi soal sejarah dan kolonialisme. Citra berharap, dari residensi ini tidak hanya berakhir di hasil karya dan pameran saja, tapi juga ada catatan perjalanan.
Dua seniman lainnya adalah Hoo Fanchon dan Vuth Lyno dari Malaysia dan Cambodia. Lyno akan menjalani residensi di Villa Arson, Nice, Prancis dan akan mengeksplorasi tentang urban planning dan arsitektur yang diambil pada era 1931. Sementara Fanchon akan menjalani residensi di HIAP – Helsinki International Artist Programme, Helsinki, Finlandia. Dia akan banyak mengeksplorasi simbol-simbol terkait maritim dan perikanan. ”Saya sungguh akan membuka pikiran dan eksplorasi situasi di Helsinki,” ujarnya.
SEA AiR merupakan program baru yang memposisikan Singapura sebagai pusat pertukaran seni antara Uni Eropa dan kawasan Asia Tenggara yang dinamis. Program ini menandai peringatan bersejarah hari jadi ke-45 hubungan dialog Uni Eropa dan ASEAN. Program ini dikembangkan oleh NTU Centre for Contemporary Art Singapore (NTU CC Singapura) dan didanai oleh instrumen Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa.
“SEA Air mewujudkan semangat dialog dan pertukaran yang merupakan ciri khas dari hubungan antara dua wilayah kami. Saya ucapkan selamat kepada artis Hoo Fan Chon, Citra Sasmita dan Vuth Lyno terpilih untuk babak perdana,” ujar Iwona Piórko, Duta Besar Uni Eropa untuk Singapura.
Program ini didedikasikan untuk seniman yang belum memiliki pengalaman profesional yang signifikan di Eropa. SEA AiR bertujuan mendorong pertukaran kreatif dan budaya antara Singapura dan Uni Eropa pada praktisi seni visual yang baru muncul dan memberikan platform mereka tumbuh.
“Sejalan dengan berkesinambungan NTU, upaya sebagai katalis untuk konektivitas global, kami dengan bangga mengumumkan ketiganya dari latar belakang budaya yang berbeda yang dipilih oleh panel internasional,” kata Profesor Joseph Liow, Dekan Fakultas Humaniora, Seni, dan Sosial, Nanyang Technological University.
DIAN YULIASTUTI
Baca juga: Asah Imajinasi Anak Lewat Seni Instalasi Kisah Antah-berantah di Museum Macan
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.