TEMPO.CO, Jakarta - Penonton Film Pengkhianatan G30S/PKI pasti teringat ilustrasi musik mencekam saat adegan para jenderal TNI diculik. Embie C. Noer, penata music film yang konon berbiaya Rp 800 juta itu mengungkapkan beberapa hal terkait kontroversi film yang selalu diputar menjelang 1 Oktober, Hari kesaktian Pancasila.
Pria kelahiran Kota Cirebon, 17 Juli 1955 yang bernama asli Rumli Chairil Noer itu, merupakan adik Arifin C. Noer, sutradara film Pengkhianatan G 30/S/PKI yang diproduksi oleh Produksi Film Negara (PFN). Film ini meraih penghargaan untuk skenario terbaik pada Festival Film Indonesia pada 1984. Selain itu, film ini juga meraih Piala Antemas untuk film Indonesia terlaris pada 1985. Di masa Orde Baru, film ini wajib diputar setiap 30 September, dan menjadi film wajib tonton anakl-anak sekolah.
Film ini dibintangi sastrawan dan aktor ternama saat itu antara lain Amaroso Katamsi, Ade Irawan, Umar Kayam, Wawan Wanisar, Syu’bah Asa.
Berikut wawancara Tempo.co dengan Embie C. Noer, mengenai proses pembuatan film Pengkhianatan G30S/PKI serta propaganda Orde Baru dalam film tersebut:
Menjelang 1 Oktober selalu ditayangkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Sebagai orang yang terlibat langsung dalam film tersebut, bagaimana sebenarnya proses pembuatannya?
Sebuah karya film yang dikerjakan dengan sangat serius dan profesional. Hingga saat ini, nyaris tidak pernah terasa ada nilai teknis dan artistik yang berarti sehingga mengganggu penonton saat menikmati jalannya cerita yang disuguhkan. Padahal ini adalah film yang panjang dan kompleks.
Apakah benar pembuatan film tersebut semata propaganda Orde Baru? Adakah kisah di belakang layar yang banyak orang tidak tahu?
Propaganda sudah pasti, karena film ini dibuat dengan moral dasar untuk membentuk kesadaran bagi seluruh rakyat Indonesia agar tetap tegas dengan sikap antikomunis. Dan nampaknya dampak film ini cukup besar dan berhasil, terbukti masyarakat masih tetap kompak untuk menolak ideologi komunis muncul di Indonesia.
Kisah di belakang layar pasti banyak, karena film ini membutuhkan banyak hal, data, tenaga keterampilan dan organisasi yang baik, mengingat ini film besar dalam arti besar organisasi kerjanya.
Adakah suka duka dalam pembuatannya?
Tentunya pada saat mewujudkannya banyak terjadi suka dan duka, rintangan tantangan problematik yang muncul berkaitan dengan proses visualisasi, karena dalam film ini sangat banyak gambar yang harus dibuat untuk menggambarkan kejadian masa lalu. Untuk itu akurasi sangat dituntut agar dapat diraih efek adegan yang serealistik mungkin.
Bagaimana memberikan edukasi karya seni harus dilawan dengan karya seni, bukan dengan cara represif seperti pelarangan, misalkan?
Tepatnya dilengkapi, bukan dilawan. Film genre sejarah, politik, biografi harus terus dibuat agar keterampilan dalam membuatnya semakin dikuasai selain masyarakat penonton mendapat suguhan film yang memiliki kandungan lebih bermanfaat ketimbang sekedar hanya dijejali drama hiburan saja.
Apa kegagalan dari banyak film dengan genre sejarah dan politik?
Kegagalan film film genre sejarah, politik, biografi yang diproduksi belakangan adalah bukti perlunya peningkatan kualitas dalam proses pembuatannya, tidak serampangan sehingga hasilnya tidak meyakinkan dan ditinggalkan penonton karena seperti melihat pementasan drama tujuh-belas-agustusan di kampung. Tidak memilik pesona sebuah karya seni film.
Apakah pendapat Anda tentang sikap represif, misalkan pelarangan karya seni seperti film atau teater?
Sikap represif terhadap karya seni, apakah itu film, novel, musik, teater, seni rupa tidak akan berdampak apa-apa pada karya seni itu, bahkan semakin kuat sikap represif terhadap satu karya seni akan berpotensi semakin matang dirinya. Di sisi lain sikap represif pada karya seni dapat dijadikan indikator kualitas sebuah tangan kekuasaan.
Baca: Embie C. Noer tentang Film Pengkhianatan G30S/PKI: Propaganda, Sudah Pasti