TEMPO.CO, Jakarta – Film dokumenter asal Swedia, bertajuk Sabaya sukses dirampungkan di tangan sutradara Hogir Hiror. Bahkan, film ini memenangi penghargaan bergengsi dari ajang Festival Film Sundance 2021 dengan nominasi sutradara film dikumenter terbaik.
Secara garis besar, film dokumenter ini menceritakan tentang penyelamatan wanita Yazidi yang menjadi budak seks oleh kelompok teroris ISIS. Dengan mewawancarai tiga wanita asal yang merupakan korban budak seks kelompok ISIS, film tersebut menggambarkan perbudakan seksual yang dialami gadis-gadis oleh kelompok ISIS.
Ketiga wanita yang merupakan subjek utama dalam film menyatakan keberatannya apabila gambar dan rekaman wawancara mereka ditampilkan di film. Namun sang sutradara tidak mengindahkan ketidaksetujuan itu dan memilih tetap menggunakan gambar mereka dalam film dokumenter Sabaya.
Dinilai tidak menghormati hak perempuan, melalui advokatnya, ketiga perempuan tersebut menilai penanyangan mereka pada film Sabaya membahayakan posisi mereka. ”Saya sudah mengatakan kepada mereka, bahwa saya tidak ingin ditampilkan di dalam film. Itu membahayakan,” ujar salah satu wanita Yazidi itu.
Film dokumenter yang didanai The Swedish Film Institute itu kemudian menimbulkan kemarahan, kecaman dan kritik dari beberapa pihak. Ditayangkannya ketiga korban dalam film, tanpa persetujuan dari mereka menunjukkan sang sutradara tidak memahami tentang consent atau persetujuan dari para penyintas. Kondisi ini dapat memicu trauma mendalam bagi para korban.
Sang sutradara, Hirori, akhirnya angkat bicara, dirinya menyatakan bahwa para korban sekaligus narasumber telah memberikan persetujuan secara lisan. Sang sutradara mengakui bahwa memang belum terdapat izin tertulis dari mereka. Niatnya, Hirori ingin mengirimkan formulir secara fisik ketika dirinya melakukan perjalanan berikutnya ke wilayah Suriah dan menemui para narasumber tersebut. Akan tetapi, niatnya terhalang karena kondisi pandemi sehingga dia tidak sempat mengirimkan formulir itu.
Namun faktanya, melansir laman thedailybeast.com, persetujuan tersebut baru sampai di tangan para ketiga wanita hampir dua tahun setelah film tersebut selesai proses produksi. Bahkan, dalam tanggal formulir yang dicantumkan adalah tanggal ketika film Sabaya diputar di Festival Film Sundance, yakni pada bulan Januari 2021 lalu. Selain itu, formulir tersebut nenggunakan bahasa Inggris, bahasa yang tidak dimengerti oleh para narasumber sekaligus penyintas itu.
Sang sutradara turut memberikan argumennya mengenai kemunculan ketiga wanita penyintas tersebut dalam film dokumenter Sabaya tanpa persetujuan mereka. Menurutnya, dirinya sudah memburamkan wajah ketiganya di film itu. Namun nyatanya, fitur tersebut tidak menutupi para korban secara sempurna karena beberapa wanita masih dapat dikenali dalam film tersebut.
NAOMY A. NUGRAHENI