TEMPO.CO, Jakarta - Teater Koma menayangkan tiga monolog karya Nano Riantiarno sebagai rangkaian dari gelaran festival virtual bertajuk FESTIVAL 44 yang berlangsung sejak Maret hingga Juni 2021. Monolog berjudul “Oh Dokter”, “Penari dan Biodata”, dan “Pulang” ditayangkan di YouTube secara berturut pada Minggu, 6 Juni 2021 sebagai ucapan Hari Ulang Tahun ke-72 untuk Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma.
“Selamat ulang tahun ke-72 kami ucapkan untuk Pak Norbertus “Nano” Riantiarno. Jangan lupa, saksikan monolog Pulang yang tayang sesudah “Oh, Doktor” dan “Penari dan Biodata” hari ini,” tulis Teater Koma di Twitter.
Norbertus Riantiarno atau dikenal dengan Nano Riantiarno merupakan aktor, penulis, sutradara, wartawan dan salah seorang tokoh teater yang dimiliki Indonesia. Nano, sapaan akrabnya, lahir di Cirebon, Jawa Barat pada 6 Juni 1949 dan genap berusia 72 tahun.
Kecintaan Nano pada teater telah ditekuninya sejak duduk di bangku sekolah di kota kelahirannya, Cirebon, pada 1965. Kemudian pada 1967, setamatnya dari SMA, Nano memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Akademi Teater Nasional Indonesia, ATNI, Jakarta. Setelah itu, Nano kemudian masuk ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara di Jakarta pada 1971.
Pada 1968 ia bergabung dengan Teguh Karya, dramawan terkemuka saat itu, untuk mendirikan Teater Populer. Nano Riantiarno mendirikan Teater Koma pada 1 Maret 1977, hingga saat ini Teater Koma boleh dibilang sebagai salah satu kelompok teater yang paling produktif di Indonesia.
Selama perjalanannya sebagai seniman, Nano banyak menelurkan skenario film dan televisi, beberapa karyanya mendapatkan penghargaan seperti skenario Jakarta Jakarta meraih Piala Citra pada Festival Film Indonesia 1987 yang digelar di Ujung Pandang. Selain itu, sinetronnya berjudul Karina juga mendapatkan Piala Vidia pada 1987 dalam Festival Film Indonesia yang digelar di Jakarta.
Selain kecintaannya akan dunia teater, Nano juga suka menulis. Sejumlah novel yang ditulisnya yaitu Cermin Merah pada 2004, Cermin Bening (2005), dan Cermin Cinta (2006). Ketiga novel tersebut diterbitkan oleh Penerbit Grasindo. Tulisannya berjudul Ranjang Bayi, serta 18 fiksi dan kumpulan cerita pendek diterbitkan Kompas pada 2005. Pada 2006, Gramedia juga menerbitkan buku Nano berjudul Roman Primadona.
Masih di dunia literasi, pada 1979, Nano berperan mendirikan majalah Zaman dan menjadi redaktur hingh6 1985. Pada 1986 Nano juga ikut berperan mendirikan majalah Matra dan menjabat sebagai pemimpin redaksi hingga memutuskan pensiun sebagai wartawan pada 2001.
Nano Riantiarno banyak mendapat penghargaan, di bidang kepenulisan, di antaranya lima hadiah sayembara Penulisan Naskah Drama Dewan Kesenian Jakarta pada 1972, 1973, 1974 dan 1975, serta 1998. Pada 1978, Nano juga pernah mendapatkan hadiah Sayembara Naskah Drama Anak-anak dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Selain itu, beberapa novelnya juga mendapatkan hadiah, novel berjudul Ranjang Bayi yang ditulisnya mendapatkan hadiah Sayembara Novelet majalah Femina, dan novel Percintaan Sejati juga memenangkan Sayembara Novelet Majalah Kartini.
Pada 1998, Nano menerima Penghargaan Sastra 1998 dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, sekaligus meraih Sea Write Award 1998 dari Raja Thailand, di Bangkok, untuk karyanya Semar Gugat. Nano Riantiarno dianugerahi Piagam Kesenian dan Kebudayaan dari Departemen P&K, atas nama Pemerintah Republik Indonesia pada 1993.
Penghargaan lain diperolehnya pada 1999 dari Forum Film Bandung berkat serial film televisi Kupu-kupu Ungu, Nano didapuk sebagai Penulis Skenario Terpuji 1999. Di tahun yang sama, Nano juga mendapat Piagam Penghargaan dari Menteri Pariwisata Seni & Budaya, sebagai Seniman dan Budayawan Berprestasi. Kemudian pada 2002, Forum Film Bandung juga menobatkan film televisi karyanya berjudul Cinta Terhalang Tembok sebagai Film Miniseri Televisi Terbaik 2002.
Bahkan karya pentasnya berjudul Sampek Engtay, 2004, masuk MURI atau Museum Rekor Indonesia sebagai karya pentas yang telah digelar selama 80 kali selama 16 tahun dan dengan 8 pemain serta 4 pemusik yang sama. Pada 2005, film layar lebar perdananya, CEMENG 2005, diadaptasi dari The Last Primadona 1995, diproduksi oleh Dewan Film Nasional Indonesia.
Beberapa skenario karya panggung yang ditulisnya yaitu: Rumah Kertas, J.J Atawa Jian Juhro, “Maaf. Maaf. Maaf’’, Kontes 1980, Trilogi Opera Kecoa (Bom Waktu, Opera Kecoa, dan Opera Julini), Konglomerat Burisrawa, Pialang Segitiga Emas, Suksesi, dan Opera Primadona.
Selain itu, Nano Riantiarno juga menulis naskah drama Sampek Engtay, Banci Gugat, Opera Ular Putih, RSJ atau Rumah Sakit Jiwa, Cinta Yang Serakah, Semar Gugat, Opera Sembelit, Presiden Burung-Burung, Republik Bagong dan Tanda Cinta
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Pendiri Teater Koma Nano Riantiarno Baca Monolog Pulang Tepat di Usia 72 Tahun