TEMPO.CO, Jakarta - Memperingati hari jadi yang ke 44, Teater Koma menggelar festival virtual bertajuk FESTIVAL 44 yang telah digelar sejak Maret hingga Juni 2021. Sebagai rangkaian dari festival tersebut, bertepatan dengan hari ulang tahun yang ke-72 pendiri Teater Koma Nano Riantiarno pada Minggu, 6 Juni 2021, Teater Koma menayangkan monolog berjudul Pulang karya tokoh teater ini di kanal YouTube.
“Beliau genap berusia 72 tahun hari ini, 6 Juni 2021. Keluarga Besar Teater Koma ucap selamat untuk guru, saudara dan ayah kami, @nanoriantiarno,” tulis Teater Koma melalui akun Twitter.
Selain monolog berjudul “Pulang”, Teater Koma juga menayangkan dua monolog lainnya karya Nano Riantiarno, yakni monolog berjudul “Oh, Doktor” dan “Penari dan Biodata” yang ditayangkan secara berturut.
“Selamat ulang tahun ke-72 kami ucapkan untuk Pak Norbertus “Nano” Riantiarno. Jangan lupa, saksikan monolog “Pulang” yang tayang sesudah “Oh, Doktor” dan “Penari dan Biodata” hari ini,” tulis Teater Koma.
Berikut ini beberapa penggalan naskah monolog “Pulang” karya Nano Riantiarno, yang diperankannya dalam panggung bernuansa taman, walaupun sudah sepuh, Nano Riantiarno seperti meletakkan jiwanya dalam kata-kata yang dituturkannya di kanal YouTube Teater Koma.
“Aku tak tahu ke mana harus pulang, aku juga tak tahu ke bagian mana harus pergi selama ini. Betapa panjang perjalanan yang sudah kulakukan, betapa jauh sungguh tak terbayangkan. Dari mana aku datang? Dari belahan bumi mana atau malah aku tidak dari mana-mana, perjalanan ini sangat menakjubkan. Mendadak aku sudah di sini, jadi begini, aku punya nama, punya istri, punya empat anak lelaki, punya rumah dan punya segalanya, sesungguhnya, siapa aku? Ke mana aku pulang?”
“Dan bagaimana dengan waktu? Waktu bagiku sangat sakral, tidak bisa dianggap main-main. Hari ini bagimu, akan berbeda dengan besok atau lusa atau bulan depan, tahun depan, atau 10 tahun lagi. Ketika usiamu 40 tahun, 15 tahun lagi akan banyak tumbuh rambut putih di kepala. Gigimu mungkin akan ompong satu demi satu. Lalu pada suatu saat ketika usiamu 70 atau 80 bisa jadi gigimu akan ompong semua, kami akan menggunakan gigi palsu untuk mengunyah makanan. Itulah kenyataan hidup.”
“Mungkin... kalau kamu mati tidak ada lagi teman-temanmu. Mengapa? Karena semuanya sudah pada wafat, bisa jadi masih ada satu atau dua yang datang. Mungkin mereka tahu namanya dan di mana tinggal. Bukan tidak mungkin mereka tidak tahu siapa dirinya. Itu sangat tidak penting. Jelasnya mereka datang ke tempat kamu dimakamkan. Biarpun kamu tidak tahu, karena mati. Itulah yang paling penting.”
“Aku melihat kamu muda, kamu cantik, aku sangat mencintaimu, lalu aku menikahimu. Kini kamu tua, juga aku. Cinta bukannya sudah tidak ada lagi. Kita justru saling mencinta. Kita sudah seperti bersaudara sehidup semati. Mungkin aku dulu yang mati, atau kamu yang mati lebih dulu. Aku sungguh tidak tahu, Tuhan yang berkuasa, semua ada pada nasib dan takdirnya. Kita hanya ada dan menunggu saat itu tiba, kapan mati? Yang harus kita lakukan adalah berterima kasih karena sudah diberi kehidupan. Kita sudah diberi kesejatian hidup. Itulah lagi-lagi kenyataan yang hidup.”
“Dulu aku menggunakan mesin tik biasa, lalu mesin ketik elektrik, kini aku menggunakan komputer. Kadang menulis juga di laptop. Sekali lagi, ini pertanyaanku. Sebetulnya kapan bisa pergi pulang? Aku tak tahu kapan akan pulang. Aku sungguh tidak tahu. Tuhanlah penguasa langit. Tapi jika aku pergi nanti, maksudku kalau wafat, di mana pun aku akan berada semoga bisa mengisi waktuku dengan menulis. Artinya kalau aku pulang kelak ke sebuah tempat, mungkin di langit, atau di mana pun, masih diperbolehkan untuk menulis. Tapi kalau aku disiksa di sebuah tempat, mungkin tempat itu penuh api yang menyala-nyala, karena kesalahanku di dunia sangatlah banyak, dosaku banyak sekali, tak mungkin bisa menulis. Hanya siksaan itu yang setiap hari aku alami, siksaan yang pasti sangat menyakitkan. Aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
“Dan kalau aku tidak, ditempatkan di sebuah tempat yang luar biasa bagus, nyaman, adem, tentrem, penuh kebahagiaan, tentu aku punya waktu untuk menulis. Itulah tempo yang paling tepat untuk menulis, karena ada waktu, hanya menulis. Akan diterbitkan atau tidak, untuk apa dipikirkan? Yang penting menulis.”
“Menulis kertas kosong dengan kalimat, kata-kata, dialog, mungkin juga kritikan yang pedas barangkali. Dulu aku menulis, dan biasanya mengkritik yang tidak terlalu klop dengan kejujuran dan cinta. Atau mengkritik keserakahan pada perkara politik dan masalah hak asasi manusia. Aku sangat bingung kalau seluruh waktuku tidak bisa aku isi dengan menulis. Hanya itu pekerjaan yang aku bisa. Menulis. Menulis. Menulis. Menulis. Menulis.”
Nano Riantiarno dalam monolog Pulang bertepatan dengan hari ulang tahunnya mengungkapkan berbagai keresahan dan keinginannya untuk terus menulis.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca: Slamet Rahardjo Gabung dalam Pentas Teater Koma Pulang Kampung