TEMPO.CO, Yogyakarta - Butet Kartaredjasa bersama puluhan seniman, budayawan dan kurator berkumpul di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Sabtu, 28 November 2020. Mereka berkumpul untuk mendialogkan tentang kondisi Indonesia kekinian sembari melukis bersama Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Al Makin.
Butet membuka dialog dengan menceritakan uneg-unegnya.
Seniman monolog yang juga pimpinan Teater Gandrik itu mengungkap, belakangan dirinya sebagai bagian masyarakat merasakan makin kuatnya persoalan politik identitas merasuk ke berbagai ranah kehidupan. Persoalan politik identitas itu pun dikhawatirkan menjadi sumber perpecahan bangsa jika tak segera diantisipasi.
“Beberapa tahun ini kita seperti diancam oleh kekuatan politik identitas khususnya yang menyangkut persoalan kehidupan beragama,” ujar Butet.
Persoalan politik identitas yang makin mengemuka belakangan ini, ketika semua seolah menjadi sangat sensitif dengan perbedaan agama atau kepercayaan.
Butet teringat pengalamannya 50 tahun silam bersama sang ayah, almarhum Bagong Kussudiardja, penari, koreografer, pelukis dan aktor Indonesia. “Saat itu, ayah saya yang beragama Kristen menciptakan tari Sunan Kalijaga,” ujar Butet.
Seniman, budayawan dan kurator berkumpul di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Sabtu (28/11). Mereka menggelar dialog sembari melukis bersama. TEMPO|Pribadi Wicaksono
Dalam penciptaan tari itu, ujar Butet, Bagong Kussudiardja berhasil menciptakan karya monumental itu karena berdiskusi dan dibantu penuh Abdul Mukti Ali, seorang ulama yang menjunjung tinggi prinsip kebhinekaan. Mukti Ali adalah mantan Menteri Agama Republik Indonesia pada Kabinet Pembangunan II yang juga alumnus angkatan pertama Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, cikal bakal UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Namun yang lebih istimewa, ujar Butet, lakon tari Sunan Kalijaga ciptaan sang ayah itu dalam pertunjukkan perdananya dibawakan Yohanes Sumandyo Hadi, seorang penari beragama Katolik dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta- yang dulu bernama Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI).
“Jadi saat itu koreografernya Kristen, penarinya Katolik, dan adviser (penasehatnya) pak Mukti Ali (seorang ulama),” ujar Butet.
Butet pun merasa sudah cukup lama tak merasakan kolaborasi lintas iman yang bisa membawa kesejukan bersama dalam kehidupan beragama itu saat ini.
Butet mengaku prihatin, saat ini yang terjadi justru aksi provokasi. Agama diacak-acak hanya demi untuk kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Bukan kolaborasi yang membawa kesejukan dan persatuan.
Butet pun berharap, kolaborasi lintas iman serta kerjasama antar insan Indonesia tanpa tersekat persoalan identitas seperti yang diwariskan pendiri bangsa bisa kembali digairahkan. Salah satunya melalui perguruan tinggi seperti UIN Sunan Kalijaga.
Menurut Butet, belum lama ini ia juga terlibat dialog bersama elemen organisasi Muhammadiyah dan membahas tentang upaya-upaya membangun kolaborasi lintas iman itu. Butet tak memungkiri, perjalanan kariernya sebagai seniman hingga saat ini, turut dipengaruhi dengan berbagai kerjasama lintas iman dihidupnya.
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Al Makin menuturkan forum bersama seniman itu menjadi upaya untuk mengkampanyekan kembali semangat kebhinekaan dari kacamata seni budaya. “Seni itu bisa menyatukan yang berbeda-beda. Dalam seni tidak akan ada yang bertanya agamanya apa, etnisnya apa, semua yang berbeda menyatu menikmati keindahannya, hingga bisa melupakan konflik untuk membangun bangsa,” ujarnya.
Sejumlah seniman turut hadir dalam forum itu. Selain Butet Kartaredjasa, ada juga pelukis kawakan Djoko Pekik, Rektor ISI Yogyakarta M. Agus Burhan, seniman Marwoto Kawer, pelukis Nasirun, Ivan Sagito, Hari Budiono, Bambang Herras, Yuswantoro Adi, Jumaldi Alfi, hingga Shri Krishna Encik.
PRIBADI WICAKSONO