TEMPO Interaktif, Jakarta: Pengalaman adalah guru berharga bagi Nurul Arifin. Ia tak kapok walau pernah gagal menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat di Senayan pada 2004, Setelah berkontemplasi, bintang film ini mencoba keberuntungan lagi sebagai calon legislator melalui Partai Golkar.
Ternyata, menurut dia, di pangung politik seorang politikus tak harus bermodal popularitas dan paras cantik, tapi juga paham intrik. Lantaran intrik itulah, kata Nurul, ia terpental masuk parlemen. "Waktu itu banyak intrik," kata istri Mayong Suryolaksono ini. Sekarang pun intrik politik itu masih banyak. "Tapi, saya sudah matang dan pintar membawa diri," kata Nuru
Nurul mengaku sudah siap dengan persaingan antarcalon di dalam partai maupun dari luar partai yang jumlahnya berjibun. Nurul mengibaratkan, "Pemilu kali ini paling kapitalistik dan membutuhkan banyak modal," katanya tanpa mau menyebut berapa duit yang digelontorkan untuk bosa menjadi calon legislator Partai Golkar.
Ia tercatat sebagai calon untuk daerah pemilihan Jawa Barat 7, yang mewakili Purwakarta, Karawang, dan Bekasi. Ditemui di arena persiapan Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar di Jakarta Convention Center Jakarta, Nurul sibuk dalam seksi hiburan.
Sewaktu masih bocah, ia tak pernah bercita-cita jadi artis. Ia terlahir bukan dari keluarga seniman. Ayahnya, Mohammad Jusuf Arifin, anggota TNI Angkatan Darat. Ibunya, Annie Arifin, ibu rumah tangga biasa. Kesembilan kakaknya tidak ada yang terjun di dunia seni, apalagi film. Demikian pula adik satu-satunya. “Waktu kecil saya bercita-cita jadi ahli hukum,” ujar Nurul.
Selepas kelas dua SMA, 1984, Nurul malah jadi foto model. Pernah terpilih sebagai Gadis Logo 1982 dan Ratu Disko 1984. Lalu ia turut membintangi film Hati yang Perawan, disutradarai Chaerul Umam.
Namanya melejit lewat perannya sebagai Kirana dalam film Naga Bonar, 1986, arahan sutradara M.T. Risyaf. Naga Bonar meraih enam Piala Citra pada Festival Film Indonesia (FFI) 1987. Tawaran main film pun terus membanjir. Pada FFI 1988, namanya masuk sebagai nominee lewat Istana Kecantikan.
Ketika perfilman lesu, 1990-an, Nurul membintangi Surat untuk Bidadari garapan sutradara Garin Nugroho. Demi film tersebut, ia rela menghitamkan kulitnya yang putih dengan berjemur selama sepuluh hari. “Juga menghitamkan gigi dengan makan sirih pinang,” ujar Nurul. Karena ia berperan sebagai orang Sumba.
Saat televisi swasta bermunculan, Nurul pun panen. Sejumlah sinetron ia bintangi. Tak peduli tema ceritanya ecek-ecek atau bagus. Ia sukses berperan sebagai dokter Halimah di sinetron Kupu-Kupu Ungu produksi Persari Film. Tapi, kini setelah tujuh belas tahun berkecimpung di film dan sinetron, ia tinggal pilih: “Kalau mau main, ya, main. Kalau enggak, cari aktivitas lain.”
Sejak tahun 1997, Nurul aktivis pencegahan AIDS/HIV dan narkoba. Sejak tahun 1999, ia sering berbicara tentang kesetaraan gender. Maka, di samping kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Nurul sibuk menghadiri undangan ceramah sampai ke Merauke, Irian Jaya.
“Kadang ceramah tentang narkoba honornya cuma sajadah, atau tidak dibayar sama sekali,” kata Nurul, yang sudah bergelar hajah ini. Tapi ia mengaku senang.
Bagus Wijanarko, Elik S