TEMPO Interaktif, Jakarta: Banyak yang percaya selama lebih dari 20 tahun Makara sudah menjadi sejarah, dengan peninggalan berupa satu-satunya album yang belakangan justru makin dicari orang. Di sejumlah forum memang tak sedikit pertanyaan mengenai album berupa kaset itu; ada harapan agar ia diedarkan lagi dalam format compact disc. Tentang fenomena ini, Andy Julias, drumer dan salah seorang pendiri Makara, mengaku heran. "Dulu, rasanya, sambutannya tak seperti itu," katanya dua pekan lalu.
Andy barangkali merendah. Tapi masa aktif Makara segera setelah merilis album debut yang menghasilkan hit Laron Laron (1986) itu memang terhitung singkat. Dan mereka juga hanya sempat main di beberapa kota--termasuk Jakarta, Bandung, dan Yogya. Sesudah itu mereka menghilang.
Menurut Andy, sewaktu memutuskan berhenti, pada 1987, Makara merasa punya alasan yang kuat, sebab dua dari enam personelnya tiba-tiba sibuk dengan proyek masing-masing--vokalis Harry Moekti berkarier solo dan pemencet keyboard, Adi Adrian, dengan KLA Project. Padahal, waktu itu, Makara baru saja memperoleh kesempatan bagus dari salah satu perusahaan rekaman. "Kami dikontrak untuk tiga album," Andy mengenang.
Minat orang yang ternyata tetap menyala mengubah segalanya. Buku riwayat Makara pun dibuka kembali. Tapi Andy, yang pada usia ke-53 tak pernah berhenti menggeluti musik, walau lebih banyak berperan sebagai produser, tak ingin mereka berkumpul dan bermain kembali hanya untuk "mengenang masa lalu". Dia ingin tetap ada idealisme dan karya baru. Setelah semua bisa sepakat dengan itu, barulah mereka memutuskan aktif lagi.
Hasil dari keputusan itu sejak Agustus lalu sudah bisa dinikmati: sebuah album baru berjudul Maureen. Dirilis oleh PRS Records, label yang berfokus pada musik-musik dalam kategori progressive rock, beberapa materi album baru ini dibawakan dalam acara Prognite di Vicky Sianipar Music Center, Jakarta Selatan, Agustus lalu. Waktu itu, meski tak didukung sound system yang sempurna, mereka tampil mengesankan dan masih menyajikan musik yang, ya, khas Makara.
Album baru itu, bagaimanapun, sulit untuk tidak disebut sebagai sebuah momentous return: bahwa mereka muncul lagi dengan urgensi yang tak tertahankan. Judul yang berkesan feminin, katakanlah begitu, yang didukung oleh art work sampul yang cenderung "ngepop", sama sekali bukanlah petunjuk yang pasti-tak-meleset mengenai isinya. Siapa pun mesti menyimak semua materi di dalamnya dengan saksama untuk benar-benar mendapatkan gambaran utuh: inilah Makara yang tetap setia dengan musik berkualitas--rock yang artistik dan kritik sosial yang tajam.
"Kami sadar ini berbeda dari yang ada di (wilayah) mainstream," kata Andy. "Ini alternatif untuk apa yang sudah ada sejauh ini."
Sebenarnya, bagi mereka yang mengikuti Makara, album itu bukan hanya berbeda dibandingkan dengan karya lain yang banyak lalu-lalang di radio atau televisi. Dari sisi musiknya, ia juga berbeda dari album sebelumnya. Bukan saja karena ia merupakan album konsep, sebuah sajian musik yang bersandar pada suatu cerita, melainkan juga inilah album yang sangat pantas untuk melanjutkan pencapaian Laron Laron.
Dibanding pendahulunya itu, Mauree> merupakan paket yang lebih kohesif, padu. Hal ini sama sekali bukan semata-mata karena kebetulan ia adalah album konsep, yang menjadikan setiap lagu berkaitan erat satu dengan yang lain. Tapi, menurut Haris Fauzi, seorang penggemar yang kesannya dimuat di situs indoprogsociety.com, album ini merupakan bukti "bahwa Makara matang dalam berkonsep". Dan memang begitu adanya. Setiap ide, setiap not, dan setiap komposisi selalu punya alasan untuk ada di sana. Begitu pula dengan eksekusi aransemen dan bebunyian instrumen yang dibutuhkan.
"Maureen berawal dari lagu dengan judul yang sama," kata vokalis Kadri saat hendak tampil dalam acara launching di Prognite, Agustus lalu. "Lagu ini ditulis pada 1987, waktu kami sudah mulai vakum."
"Waktu mulai lagi menggarap album baru, kami membahas beberapa ide dan kemudian sepakat dengan concept album. Kami punya dua pilihan: mengeksplorasi Fabel atau Maureen," kata Andy, yang mengungkapkan bahwa saat menulis Maureen dia memperoleh ilham dari peristiwa ditemukannya seorang perempuan yang tewas bunuh diri di Jakarta.
Maureen, karakter dalam lagu itu, dikisahkan sebagai perempuan Indonesia yang kebetulan memperoleh kesempatan menghirup kehidupan di negara asing, mengikuti kekasihnya. Suatu ketika dia pulang ke kampungnya di Senggigi, Lombok. Dia berniat mengabdikan diri membangun kampungnya. Tapi stereotipe bahwa perempuan tak boleh maju dan pintar merintanginya tanpa ampun. Dia lalu tertekan dan memutuskan mengakhiri hidupnya.
"Cerita itu hanya merupakan pegangan," kata Andy. "Tapi pesannya yang sebenarnya bisa saja terjadi pada siapa pun."
Penggarapan album itu berlangsung lebih lama ketimbang yang bisa diperkirakan oleh Makara sendiri. Beberapa hal terjadi sepanjang sekitar delapan tahun, termasuk mundurnya beberapa personel--dengan konsekuensi beberapa lagu mesti ditulis dan di-take ulang--serta masuknya personel baru. Kini, selain Andy dan Kadri, mereka terdiri atas Kiki Caloh (bas), Fadil Indra (keyboard), Ule (gitar, keyboard), Rifki (gitar), dan Jimmo (vokal).
Personel baru dan faktor usia sebagian dari mereka menjadi penentu warna musik yang ada. "Kami sudah tak mungkin bermain cepat seperti dulu," kata Andy. Walau begitu, mereka tetap terdengar heavy, seperti halnya Black Sabbath, pada 1970-an, yang tetap heavy meskipun tempo musik yang mereka mainkan tak secepat, misalnya, Deep Purple.
Sebagian dari pencapaian warna itu merupakan kontribusi dari permainan gitar Rifki, yang pernah memperkuat Pendulum. Dia memainkan motif rhythm dan melodi dengan sound yang berat dan distortif. Contoh paling pas adalah pada lagu Senggigi, yang berdurasi sedikit di atas delapan menit. Ini pembuka kisah Maureen yang terasa pas mewakili sisi rock Makara. Atau pada nomor Oh Bulan, yang mewakili sisi progresifnya--coba simak betapa gitar Rifki melebur harmonis dengan keyboard yang bertekstur simfonik dan bas yang bergerak dinamis pada lagu yang mengekspos marawis di bagian menjelang akhir. Ini nomor yang menggairahkan.
Andy sadar bahwa album dengan 11 lagu yang tak mengakomodasi faktor pasar itu bakal mustahil bisa sama berhasilnya dengan album-album mainstream dari sisi penjualan. Tapi respons sekecil apa pun sudah cukup membuat Andy senang; dia bahkan tak mengira ada penggemar di kota nan jauh dari Jakarta yang sampai berturut-turut mengirimkan pesan pendek mengabarkan betapa dia mabuk kepayang dengan apa yang didengarnya.
Dan Andy sudah membayangkan bakal melanjutkan Maureen dengan album yang lain.
Pur