TEMPO.CO, Jakarta -Happy Salma bersama Titimangsa Foundation dan Bakti Budaya Djarum Foundation sukses menggelar teater Rumah Kenangan yang ditonton 2500 orang dalam dua hari pada 15-16 Agustus 2020 secara daring (online). Terobosan pertunjukan di masa pandemi Covid-19 itu juga mengenalkan istilah cinema play. “Bisa juga sebagai inovasi baru dalam seni pertunjukan di kemudian hari,” ujar Happy.
Menurut Happy Salma, teater daring itu bisa hanya sementara waktu karena di masa pandemi tirai pertunjukan harus tutup. Sementara pertunjukan secara langsung yang dihadiri penonton tidak bisa tergantikan energinya sampai kapan pun. Tapi teater daring juga dimungkinkan untuk digarap.
“Karena teknologi daring sudah sangat akrab dengan banyak orang sampai ke pelosok,” ujar Happy saat dihubungi Senin 17 Agustus 2020. Selain itu dengan hanya sekali main, raihan penonton teater daring sedikitnya bisa mencapai dua kali lipat dari pertunjukan teater langsung di gedung yang juga harus dimainkan beberapa kali.
Happy dan timnya menyiapkan teater Rumah Kenangan sejak 3 Juni 2020. Pemainnya sengaja dipilih sedikit karena situasi pandemi, yaitu Happy sendiri, Butet Kertaredjasa yang ikut memproduksi, Ratna Riantiarno, Reza Rahadian, Wulan Guritno, dan Susilo Nugroho. Tema dramanya tentang keluarga dan masalahnya di masa pandemi selama sekitar satu jam. Pementasannya di studio baru Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Bantul, Yogyakarta, sekitar akhir Juli lalu.
Pementasan lakon itu direkam oleh tiga kamera untuk kemudian ditayangkan lewat film. “Istilahnya saya sebut cinema play atau tayangan teater,” kata sutradara Agus Noor yang dihubungi Senin, 17 Agustus 2020. Sutradara Agus Noor menggarap teater daring Rumah Kenangan dengan cinema play atau tayangan teater, 14-15 Agustus 2020. (Dok. Titimangsa Foundation)
Sedari awal Agus Noor meniatkan tayangan dramanya bergambar sinematik yang enak ditonton tapi tanpa menjadi sebuah film atau sinema. Gambar berfungsi untuk menerjemahkan peristiwa di panggung, namun suasana pentas dramanya tidak hilang. “Peristiwa teaternya sampai tapi secara gambar dia film,” ujar Agus.
Pengamat teater Afrizal Malna mengatakan genre film dan teater di masa depan menjadi tidak penting ketika hasilnya muncul di ruang digital. Namun jika genre itu masih mau dipertimbangkan, maka ada beberapa catatan untuk teater daring.
“Pertama posisi kamera, apakah mewakili mata penonton atau ikut menyutradarai pertunjukan,” ujarnya saat dihubungi Senin 17 Agustus 2020. Ketika kamera juga jadi sutradara dalam pertunjukan teater kata Afrizal, dengan sendirinya teater berubah menjadi film. Apalagi ada teknik pengambilan gambar seperti film dan penyuntingan.
Berbeda dengan rekaman video dokumentasi pertunjukan teater, kamera yang dipakai menurut Afrizal cenderung seperti mata penonton. “Kalau itu dimensi pertunjukannya masih terasa teater,” katanya. Sosok kamera menurut Afrizal bisa hanya sebagai alat atau ikut menjadi bagian dari tubuh pertunjukan teater. Soal istilah cinema play sendiri, Afrizal mengaku belum pernah mendengarnya. Dia menduga istilah itu bagian dari argumentasi penyelenggara untuk penggunaan kamera dalam pementasannya.