TEMPO Interaktif, Jakarta: Mendengarkan King’s X selalu lebih dari sekadar menyaksikan perjalanan musikal yang menggairahkan. Ia bisa juga menjadi pengalaman spiritual nan mencerahkan. Album ini, dengan 14 lagu yang meliputi spektrum tempo dan mood yang luas, sekali lagi menegaskan kesan itu.
Secara musikal, grup yang pernah bernama The Edge ini termasuk di antara sedikit band yang sanggup menghasilkan ramuan musik yang canggih. Mereka memadukan harmoni, motif gitar (riff) ala metal dan kadang-kadang grunge, napas funk dan soul, juga sedikit tikungan progressive rock. Bagusnya, mereka hanya bertiga--Doug Pinnick (bas, vokal), Ty Tabor (gitar, vokal), dan Jerry Gaskill (drum, vokal). Dalam batas tertentu, mereka mengingatkan orang pada Cream, trio dari masa akhir 1960-an yang disebut-sebut sebagai supergrup pertama.
Dua dasawarsa lebih malang melintang, trio Pinnick-Tabor-Gaskill memang tak pernah beruntung bisa menembus tataran popularitas yang mestinya pantas buat mereka--berbeda dengan Cream. Tapi barangkali hal itu tak penting benar. Toh, sejauh ini mereka punya penggemar dengan kesetiaan yang melebihi, katakanlah, fanatisme massa salah satu partai politik besar di negeri ini. Dengan penggemar seperti itu, King’s X terus menghasilkan karya yang boleh dibilang sudah tak berlatar pretensi untuk membuktikan sesuatu.
Bukan berarti buruk. Dan album ini boleh dibilang merupakan sertifikat yang kesekian kalinya yang menggaransi konsistensi kualitas musik mereka. Resep yang mereka gunakan selama ini, yakni menginjeksikan elemen-elemen spiritual, perenungan, dan filsafat ke dalam rock, heavy metal, atau apa pun musik mereka hendak disebut, tetap bekerja dengan baik. Lebih efektif, malah.
Produser dan engineer Michael Wagener ikut berperan di balik itu. Wagener bukan orang asing. Dia pernah membantu antara lain Ozzy Osbourne, Great White, Dokken, bahkan King’s X sendiri (pada 2005). Berkat sentuhannya, kalaupun album ini tak bisa menandingi kekuatan dan artistik Gretchen Goes to Nebraska, karya terbaik King’s X, pendekatan “intelektual” Pinnick-Tabor-Gaskill justru menjadi lebih mudah dinikmati.
Pur