Dee mengaku kembali berkarya dan menulis untuk mengobati rasa kangen akan bacaan di masa remajanya. "Saya itu penggemar cerita bersambung seperti di majalah remaja dulu. Ada yang selalu di tunggu untuk kelanjutan episode berikutnya, tapi sekarang sudah jarang hal semacam itu" kata Dee saat bertemu fans di Centro, Ambarukmo Plasa Yogyakarta, Sabtu (29/8) malam.
Menurut Dee, novel itu sebenarnya sudah 11 tahun silam mulai ditulis. Kisah yang ada terinspirasi dari kehidupan semasa kuliah. Hanya saja untuk pengerjaan kembali, dia butuh waktu dua bulan hingga penerbitan versi digital melalui operator seluler XL. "Karya ini sempat habis bensin di tengah jalan. Ada tawaran menulis ulang, saya pilih Perahu Kertas ini," tambah dia.
Penggemar film, animasi dan kisah-kisah asal Jepang itu menyatakan berbeda dengan karya terdahulu, alur dan penokohan menganut model bahasa tutur yang populer. "Saya menulis yang populer. Ndak ada yang aneh-aneh,
saya suka cerita asal Jepang, komik dan lainnya," kata Dee.
Intisari novel digital sendiri berupa kisah kedekatan dua orang yang saling jatuh cinta dan bagian dari pengalaman hidup penulis. Ada semangat bagaimana berjuang menawarkan idealisme. "Ada kisah mencari tambatan hati. Saya kira itu hal yang umum. Meski karya lama, untuk kontek saat ini jelas ada up date berbgai hal," katanya.
Tampil sederhana, Dee menjawab dalam waktu dekat dirinya hendak meluncurkan novel yang lain, termasuk buku Supernova, Akar dan Filosfi Kopi.
Dee yang turut membantu perwujudan Gerakan Seribu Buku bagi tuna netra mengakui dengan senang hati memberikan karya untuk ditulis menggunakan huruf braille. Menurutnya mereka yang memilki minat baca tak terbatas orang normal saja. "Saya bersama beberapa teman memang menyerahkan karya
novel untuk tuna netra, untuk perahu kertas juga," kata Dee. Tempo| Muh Syaifullah