TEMPO Interaktif, Jakarta: Presiden pertama Indonesia, Soekarno, berpeci hitam dengan pipi menggelembung, memainkan alat musik tiup saksofon. Di sebelahnya, presiden kedua, Soeharto, mengenakan safari memegang gitar akustik. Di antara keduanya terdapat angka notasi fa, sol, la, si. Di bagian bawah terdapat tulisan "The Song Remains the Same Sing by the Duo 'Soe'..." yang diambil dari kata-kata milik musisi dunia, Led Zeppelin.
Itulah imaji yang tersaji dalam lukisan berjudul The Duo Soe karya Agustinus Teddy Darmanto, yang kini dipamerkan di Galeri Hadiprana, Jakarta. Lukisan berukuran 180 x 200 sentimeter itu menyatukan kedua presiden tersebut dalam musik. Keduanya tampak seolah berkomunikasi lewat jalinan nada yang lahir dari tarian tangan mereka. "Mereka sama-sama memainkan Indonesia Raya, walau gayanya berbeda," ujarnya kepada Tempo pada acara pembukaan, Rabu malam lalu.
Bukan presiden yang menjadi tema utama pameran yang berlangsung hingga 17 September itu, melainkan musik. Sebanyak 39 lukisan, yang semuanya mengambil tema musik, ditampilkan dalam pameran yang diberi tajuk "Melodi di Saban Hari" ini. Selain dua presiden tersebut, Teddy melukiskan beberapa tokoh musisi dunia lengkap dengan alat musik masing-masing, seperti B.B. King, Jimi Hendrix, Bob Marley, Santana, dan Idris Sardi. Lukisan-lukisannya merupakan usaha mengonkretkan musik yang abstrak lewat garis melodi yang artistik.
Teddy selalu tampil dengan ciri khas tersendiri, yakni tokohnya selalu digambarkan dalam dua warna, hitam dan putih. Sementara itu, alat musik diberi warna yang hidup, seperti merah dan biru. Hal ini, kata Teddy, menggambarkan bahwa musik itu abadi, sementara si musisi tidak. "Musisi boleh mati, tapi musiknya tetap hidup," ujar pria 54 tahun yang juga menjabat Wakil Direktur Divisi Imaginering PT Pembangunan Jaya Ancol ini.
Menurut kurator Agus Dermawan, ada tiga periode dalam karya Teddy tentang musik. Teddy, kata Agus, memulai lukisan musiknya dari nonfiguratif dan abstrak berdasarkan interpretasinya atas musik. Seperti yang ditunjukkan dalam karya-karya pada 1990 berjudul Black, Blue, Gray, Black, Green, Yellow, dan lainnya. Pada periode berikutnya, ia mulai memberi imaji orang dengan alat musik berupa lukisan surealis komikal dan realis ilustratif. Itu bisa dilihat pada, misalnya, Violin Suka Hati dan Blues Kampung Halaman.
Baru pada 2008, Teddy bergerak melukiskan musisi-musisi ternama sesuai dengan imaji aslinya. Usaha Teddy menyenirupakan musik, kata Agus, terbalik dengan yang biasa dilakukan perupa lainnya, yakni dari yang wadak ke inti atau dari realis ke nonfiguratif. Keterbalikan ini membuat karya-karya Teddy "berisi". "Di dalam figuratifnya Teddy, terdapat intisari, yakni ruh musik itu," kata Agus.
Teddy sendiri bukan orang asing di dunia artistik. Lulusan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, ini pernah mengerjakan monumen Angkatan Laut di Lampung sampai menjadi perancang batik. Ia bahkan berprestasi memenangi lomba desain seragam atlet Sea Games X Jakarta dan kompetisi desain arsitektur 1972. Ia juga terlibat dalam pembuatan film Jaws dan King Kong di Amerika. Catatan awal kariernya adalah membuat konsep, master plan, dan desain art work Dunia Fantasi.
Musik sejatinya adalah pilihan awal Teddy untuk berkarya. "Tapi waktu itu hidup dari musik susah," ujarnya. Akhirnya ia banting stir ke seni rupa. Walau begitu, musik tetap menjadi inspirasinya dalam berkarya. "Saya selalu mendengarkan musik ketika melukis," ujarnya. Bahkan alunan musik jazz dari Nana and Friends turut mewarnai pembukaan pameran tunggal pertamanya ini.
Tito Sianipar