TEMPO Interaktif: Bermula dari perkenalannya dengan seorang mini di kawasan TIM dua tahun lalu, Aidil terinspirasi untuk melakukan proses berkesenian dengan mereka. "Pada awalnya suatu kegelisahan, bagaimana kita dapat berbagi pengalaman dengan orang yang secara fisik memang kelihatan unik," kata seniman kelahiran Padang, 1970 ini.
Aidil kemudian tak hanya mengenal satu orang tersebut, tapi lebih banyak lagi. Ada 18 orang mini yang terlibat dalam pementasan panggung. Mereka pun mendapat dukungan dari sebuah wadah yang bernama Persatuan Orang Mini Indonesia. "Di sini saya mencoba secara jujur untuk bagaimana sedikit mungkin menghindari kesan eksploitasi dari fisik mereka," dia melanjutkan.
Apa yang mereka sajikan di panggung Graha Bhakti, TIM, pekan lalu itu mengingatkan pada teater yang bertumpu pada eksplorasi dan komposisi tubuh. Kalaupun mereka bersuara, berkata-kata dalam bahasa Indonesia, dan mengisyaratkan makna tertentu, semua itu ditujukan untuk mendukung "bahasa" gerak mereka.
Dalam proses persiapan sebuah pertunjukan teater, eksplorasi gerak menjadi salah satu bagian dari latihan. Ada gerak rasa yang membiarkan tubuh bergerak sendiri tanpa dikontrol oleh pikiran. Ada gerak yang berusaha memadukan antara perasaan dan pikiran kita terhadap keadaan di sekeliling, serta usaha-usaha lainnya.
Sebenarnya, ini bukan sesuatu yang baru. Jejak Semesta Tubuh ini bisa dirunut jauh ke belakang pada para pelaku sejarah teater di sini. Kita tentu ingat bagaimana W.S. Rendra, misalnya, memperkenalkan teater mini kata sepulangnya ia dari Amerika pada periode 1960-an.
Menyajikan teater yang bertumpu pada perilaku tubuh tentu saja punya tingkat kesulitan setara dengan persiapan bentuk-bentuk teater lainnya. Kesulitannya adalah bagaimana pentas itu bisa dimengerti penonton.
Aidil pun menyadari hal tersebut. Karena itu, ia menyodorkan sebuah tema besar kepada Mari, Ika, Kalio, Ivan, dan 13 rekan lainnya yang berlakon di atas pentas. Tema itu adalah gugatan tubuh dengan segala problem sosial yang terjadi sekarang di Tanah Air dan dunia.
Pergaulan Aidil yang luas dengan berbagai tokoh kesenian, termasuk melawat ke Jerman, membuat ia memasukkan banyak unsur dalam pementasan satu jam itu. Ia, misalnya, menyuguhkan permainan visual, baik dalam bentuk cahaya, permainan rupa pemain yang selalu bergerak secara intens, dan layar di belakang yang menampilkan berbagai tanda-tanda sosial.
Hal itu sangat membantu penonton memahami pertunjukan. Sebab, Aidil mengusung tema yang tidak ringan dalam pementasannya ini. Simaklah paparannya dalam booklet pertunjukan: "Semesta Tubuh terbagi dalam lima bagian yang mencoba merefleksikan narasi besar tentang keterpurukan ekonomi, gurita globalisasi, pemanasan global yang melahirkan petaka dari kerakusan manusia. Juga tentang harapan menunggu kelahiran generasi baru."
Orang-orang kebanyakan pun, yang tubuhnya "kebetulan" lebih tinggi dari rekan-rekannya yang mini itu, bisa terengah-engah dalam menerjemahkan tema besar itu kalau kebetulan bergabung dalam pementasan Aidil kali ini.
Lepas dari berbagai interpretasi atas pementasan, ini adalah sebuah usaha serius untuk menjauhkan orang mini itu dari apa yang ditulis Wicaksono Adi dalam judul Menembus Batas yang ada di booklet pertunjukan ke dalam penggolongan semata-mata berdasarkan kategori fisik belaka.
Mereka adalah bagian dari semesta alam raya yang berhak melakukan apa pun, termasuk bergerak, menari, meski tidak mengisyaratkan pada bentuk tradisi tari tertentu.
Hari Prasetyo