Museum Samanhoedi yang terletak di Kampoeng Batik Laweyan Solo, dulunya lebih dikenal sebagai museum batik. Maklum, Laweyan memang terkenal sebagai sentra industri batik semenjak zaman penjajahan Belanda.
Tempat tersebut kini di sulap menjadi Museum Samanhoedi, yang berisi foto-foto bukti perjuangan KH Samanhoedi, pengusaha besar batik yang telah berjasa mendirikan organisasi modern Sarekat Dagang Islam (SDI).
Foto yang terpajang merupakan foto-foto lama yang telah direproduksi, sehingga semua foto merupakan foto hitam putih. Foto yang terpampang ditata secara berurutan, mulai dari revolusi batik, foto mengenai pembentukan SDI, peran pemerintah kolonial terhadap SDI, Kongres SDI di Solo, dan Samanhoedi di masa tua yang memprihatinkan.
Tidak hanya foto peristiwa, juga terdapat hasil repro anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari organisasi Sarekat Dagang Islam, yang masih tertulis dalam huruf Jawa.
Sayangnya, tidak didapati benda-benda peninggalan Samanhoedi yang dapat dipajang di museum yang diresmikan oleh Walikota Surakarta, Joko Widodo pada tersebut.
“Ketika meninggal, kakek tidak mempunyai barang apa pun,” kata Hudi Setyawan, cucu Samanhoedi. Di masa tua, Samanhoedi mengalami kebangkrutan yang luar biasa, karena harta bendanya habis untuk perjuangan membesarkan Sarekat Dagang Islam.
Peninggalan Samanhoedi yang masih tersisa hanyalah sebuah rumah yang terletak tidak jauh dari museum tersebut, itu pun merupakan rumah pemberian dari Soekarno. Rumah tersebut kini ditempati oleh keluarga Hudi Setyawan.
“Semula kita ingin museum tersebut dibuat di rumah itu,” kata Krisnina Maharani, Ketua Yayasan Warna Warni yang memprakarsai berdirinya museum ini. Namun karena digunakan sebagai tempat tinggal, dirinya memilih menyewa sebuah gudang bekas tempat produksi batik tersebut.
Beberapa foto yang dipajang merupakan koleksi pribadi keluarga Samanhoedi. Namun beberapa didapatkan dari Arsip Nasional, dan beberapa didapatkan oleh Krisnina di Kota Leiden, Belanda.
AHMAD RAFIQ