Even when I’m a mess/I still put on a vest/With an S on my chest/Oh yes/I’m a Superwoman.... Yes, you are....
Di masa lampau teknik bernyanyi yang disebut melisma itu digunakan dalam berbagai ritus mistis dan pemujaan. Di zaman modern ini ia menjadi bagian penting, antara lain, dari musik-musik yang lahir di lingkungan masyarakat Afrika-Amerika. Termasuk R&B (atau, dalam istilah terbaru, contemporary R&B). Aliran musik inilah pilihan Keys sejak awal kariernya. Dia membawakannya dengan penuh pesona dalam konsernya di Jakarta, yang diselenggarakan oleh RNPresents pada Kamis pekan lalu.
Sejak lahir pada akhir 1940-an, R&B—yang memadukan jazz, gospel, blues, dan belakangan juga soul, funk, dance, dan hip-hop—adalah format dengan aransemen bertekstur kaya, berbumbu harmoni vokal nan mulus tapi bertenaga. Keys tahu ini. Dalam konser yang merupakan rangkaian As I Am World Tour itu, dia memboyong sepuluh musisi, lengkap dengan dua pemain instrumen tiup dan tiga penyanyi latar. Di panggung yang ditata sederhana, dengan dua layar monitor besar di bagian kiri dan kanan, mereka menyajikan performa yang ketat, rapi, dan atmosfer nan akrab. Vibrasinya seperti menerobos batas-batas gedung.
Mengenakan blus marun tanpa lengan dengan leher super-rendah, dengan celana ketat hitam, serta rambut panjang yang dikucir, Keys muncul di panggung pukul 21.30—terlambat setengah jam dari jadwal. Dia langsung membuka pertunjukan dengan Go Ahead yang mengentak. Sekitar 3.000 penonton, yang membeli tiket dengan harga Rp 750 ribu-3 juta, langsung menyambut dengan gegap-gempita. Kamera telepon seluler berpendaran menjepret setiap gerakan di panggung. Keys menyusulkan berturut-turut You Don’t Know My Name yang sensual, Teenage Love Affair dengan vokal latar yang terasa magis, dan Heartburn yang membakar. Keys lalu berbasa-basi. ”I feel blessed, I feel thankful, I feel good,” katanya, sebelum duduk di hadapan pianonya.
Memang, sudah sepantasnya dia merasakan semua itu. Karier perempuan yang lahir di Harlem, New York City, pada 25 Januari 1981 itu terus mengkilap setelah melalui fenomena ”sensasi semalam”.
Waktu itu tahun 2001. Album debutnya, Songs in A Minor, laku lebih dari 50 ribu kopi pada hari pertama dijual. Sebuah ramuan seni R&B dengan dosis soul ala Marvin Gaye dan Stevie Wonder—para pahlawan soul era 1970—tapi dengan sentuhan hip-hop, penjualan album itu akhirnya menembus 10 juta kopi di seluruh dunia. Majalah Rolling Stone menjulukinya The Next Queen of Soul.
Keys, usianya baru 20 tahun, lalu menyabet lima Grammy Award pada 2002. Kemampuannya untuk menulis lagu sendiri dan memainkan instrumen membedakannya dengan penyanyi R&B seangkatannya, seperti Destiny’s Child. Dan dia telah mengukuhkannya dengan tiga album lainnya, termasuk sebuah rekaman pertunjukannya untuk MTV.
Alicia Augello Cook, begitulah nama aslinya, belajar piano pada usia tujuh tahun. Empat tahun kemudian dia mulai menulis lagu. Setelah mengasah vokal di Professional Performance Arts School, dia lalu mendapatkan dua peluang emas untuk melanjutkan hidupnya: Columbia University dan Columbia Records. Sempat mengira bisa merangkap keduanya, dia akhirnya memilih berfokus pada musik. Tapi jodohnya bukan dengan Columbia Records, melainkan dengan Clive Davis. Inilah produser yang telah membesarkan antara lain Santana, Aretha Franklin, Whitney Houston, dan Kenny G. Melalui J Records, perusahaan yang didirikan Davis, Keys pun merilis album-albumnya, termasuk As I Am yang diluncurkan tahun lalu.
Dari album gres itulah sebagian besar repertoar Keys di Jakarta, juga di kota-kota lain di seluruh dunia yang disinggahinya, berasal. Walau tak buruk, dibanding album-albumnya yang terdahulu, materi album itu sebenarnya cenderung ke pop. Tapi penonton rupanya tak peduli. Mereka toh sudah akrab, dan karena itu, di samping merespons setiap perkataan dan ajakan Keys, mereka ikut menyanyi di hampir semua lagu baru tersebut.
Buat mereka yang tak mau keluar dari zona nyaman Songs in A Minor, di antara 17 lagu yang dibawakan selama 90 menit untunglah masih ada Fallin’, nomor yang memperoleh Grammy sebagai Lagu Terbaik, dan If I Ain’t Got You (dari album The Diary of Alicia Keys). ”Lagu ini mewakili apa yang saya rasakan,” kata Keys setelah kembali untuk kedua kalinya ke panggung karena penonton tak juga beranjak dari tempat masing-masing. Yang dia maksudkan adalah If I Ain’t Got You, nomor penutup konser. Dia menyanyi: ”Some people think that the physical things/Define what’s whithin/And I’ve been there before but that life’s a bore/So full of the superficial.”
Purwanto Setiadi