TEMPO Interaktif, Jakarta: Kalangan seniman mempertanyakan kebijakan tidak dimasukkannya bidang seni ke kelompok nirlaba yang mendapatkan insentif pajak berupa pengecualian sebagai obyek pajak pada draf Rancangan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Menurut Ketua Pengurus Harian Dewan Kesenian Jakarta Marco Kusumawijaya, seharusnya seni mendapat insentif yang sama seperti bidang lainnya. "Karena pemberian insentif bidang seni berarti pemerintah mengakui peran masyarakat membantu negara," ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta kemarin.
Konferensi pers itu juga dihadiri Ratna Riantiarno (Teater Koma), Amna Kusumo (Yayasan Kelola), Goenawan Mohamad (Yayasan Utan Kayu), Lalu Roisamri (Jiffest), Nungki Kusumastuti (Indonesian Dance Festival), dan lainnya.
Beberapa bidang lain yang mendapat insentif tersebut, antara lain, penelitian, sumbangan penanggulangan bencana, pembangunan infrastruktur sosial, pendidikan, dan pembinaan olahraga. "Kami iri kenapa olahraga dapat. Bukannya tidak layak, tapi kenapa kesenian tidak dapat (insentif)," Marco menambahkan. Padahal tidak sedikit seniman Indonesia yang reputasinya mendunia dan mengharumkan nama bangsa.
Sardono W. Kusumo menambahkan, pengecualian bidang seni dari penerima insentif pajak akan membawa dampak negatif. Di berbagai daerah, kata Sardono, kesenian rakyat berupa ludruk, ketoprak, hingga wayang merupakan faktor penggerak roda ekonomi, selain sebagai hiburan. "Patut dipertanyakan, bagaimana mengenakan pajak terhadap pemain ludruk atau dalang yang dibayar dengan ikan dan ayam," ujar guru besar yang juga Rektor IKJ ini.
Menurut hasil penelitian Public Interest Research Advocacy Centre (PIRAC), tax deduction (bagi pemberi sumbangan) dan tax exemption (penerima) lazim di negara lainnya sebagai bentuk apresiasi negara terhadap peran masyarakat yang menggerakkan bidang seni. Pengecualian bidang seni sebagai penerima insentif akan melemahkan keinginan pemberi sumbangan dan mengurangi dana bagi seniman untuk berkarya.
Padahal, dalam kurun waktu tujuh tahun terakhir, potensi masyarakat menyumbang di dunia kesenian semakin meningkat. Pada 2000, besarnya Rp 65 ribu per kepala per tahun; pada 2004 Rp 85 ribu; dan pada 2007 menjadi Rp 275 ribu. "Seharusnya hal ini dihargai pemerintah. Bukan malah menambah beban pajak bagi mereka," ujar Hamid Abidin dari PIRAC.
Tito Sianipar