TEMPO Interaktif, Jakarta: Bentuk-bentuk kurang beraturan dalam aneka warna berserakan. Karya itu mirip lukisan abstrak. Di sana tak terlihat ekspresi manusia ataupun detail sebuah obyek. Itulah kesan yang ditangkap oleh Ronald Wigman saat mengamati sebuah pasar di Denpasar. Dalam lukisan berjudul Market Denpasar itu ia membayangkan dirinya sedang melihat fakta dari udara layaknya seorang kartograf atau pembuat peta.
Bersama puluhan lukisan lainnya, karya perupa kelahiran Den Bosch, Belanda, pada 19 juni 1954, itu kini dipamerkan di Tony Raka Gallery, Ubud, hingga 20 Agustus. Lukisan yang dipamerkan adalah karyanya dalam 10 tahun terakhir ketika ia terus melakukan perjalanan pulang-pergi Indonesia-Prancis-Belanda.
Sebagian besar lukisan menggunakan sudut pandang atas. Obyek dalam lukisannya seperti sedang dicermati, dimunculkan, dan diorganisasi layaknya simbol-simbol dalam peta. "Saya menemukan keindahan yang tidak biasa saat memandang dengan cara itu," katanya.
Wigman kemudian menggunakan komposisi warna serta pemilahan ruang sebagai pengganti gairah kehidupan yang umumnya tereduksi dalam penampilan sebuah peta.
Gaya layaknya seorang kartograf peta itu menjadi lebih menarik karena digunakannya untuk tema yang sederhana seperti saat sebuah keluarga sedang bercengkerama atau aneka rupa makanan di meja makan. Ada juga yang hanya memperlihatkan ikon-ikon tangan, kaki, serta abstraksi pemandangan dalam ruang-ruang yang terpisah.
Karya mutakhir Wigman adalah lukisan yang memadukan foto-foto diri sahabatnya dengan suasana meja kerja yang serba berantakan. Tema itu digunakannya untuk 54 lukisan dengan tema yang sama untuk menandai ulang tahunnya yang ke-54 pada Agustus ini. Orang-orang yang terpilih adalah mereka yang dianggap sebagai sahabat dekat yang telah mewarnai kehidupannya.
Pengaruh peta pun tetap terlihat dalam lukisan dengan sudut pandang horizontal. Seperti ketika dia melukis wanita-wanita berjilbab yang ditemuinya dalam pengembaraan di pedesaan Jawa. Dalam lukisan bertajuk Just Like Nuns itu Wigman memadukan garis-garis dan warna seolah sedang memilah ruang demi ruang. Setiap sekat menyiratkan ekspresi dan suasana yang berbeda. Pilihan obyek itu mempertautkannya dengan kenangan masa kecilnya yang akrab dengan kehadiran para biarawati.
Gaya lukisan itu berakar pada sosok Wigman yang terpesona pada perjalanan. Sejak kanak-kanak, ia bahkan telah memiliki hobi mengoleksi kartu pos bergambar dari pelbagai lokasi geografis aneka kota dan negeri sebagai bentuk penjelajahan imajinernya. Ia gemar merekam kesan dan pengalaman pribadi untuk memproyeksikannya pada fakta-fakta yang ditemukannya hari ini. Setelah beranjak dewasa, penjelajahan fisik nyata benar-benar dilakukannya.
"Tema karya-karyanya selalu terkait erat dengan pengalaman menempuh perjalanan," pengamat seni rupa, Arif B. Prasetyo, menyebutkan. Pengalaman lalu diubah menjadi skema yang teratur, terencana, dan, akhirnya, terkuasai. Yang membedakan Wigman dengan para kartograf, dia tidak mengasingkan peta dari gairah kehidupan.
Wigman justru menjaga adanya gairah itu dalam jaringan garis yang seperti ditarik dengan gemetar, antara sadar dan tidak sadar; juga dalam spontanitas ekspresi sapuan kuas; dalam interplay bentuk-bentuk dan warna-warni yang dinamis, serta penggarapan tekstur permukaan yang berlapis-lapis. "Wigman melukis 'peta batin' yang menjalarkan tegangan dramatis piktorial penuh makna," tutur Arif.
"Peta" buatan Wigman tentu saja bukan benda yang berguna bagi semua orang. Itu adalah rekaman perjalanan personalnya dalam membaca realitas. Bagi orang lain mungkin hanya menjadi perbandingan karena mereka pasti akan menilai dan menghayati pengalaman dengan visi dan persepsinya sendiri. Wigman pun tidak berpretensi memberi petunjuk seperti seorang membuat peta yang sesungguhnya.
Rofiqi Hasan