TEMPO.CO, Jakarta - Madani Film Festival berlangsung di Pacific Place Mall, Jakarta, pada Senin sampai Minggu, 21 - 27 Oktober 2019. Dari berbagai film yang diputar dalam festival film internasional ini, ada tiga film yang menceritakan tentang pengungsi Suriah.
Tiga film pendek itu garapan sutradara keturunan Suriah - Amerika Serikat, Akram Shibly. Tiga film tersebut berjudul Waiting at the Door (2015), In Their Footsteps (2018), dan From a Distance (2019).
Film Waiting at the Door berisi secuplik kisah para pengungsi Suriah yang menanti kedamaian agar bisa kembali ke kampung halaman. Seorang pengungsi mengatakan, tidak ada yang lebih baik dari pulang ke rumah, tak peduli tempat tinggalnya hanyalah gubuk bobrok menyedihkan. Walau bisa bertahan hidup berkat melarikan diri ke tempat lain, ia merasa jiwanya terenggut ketika tak ada lagi tempat yang untuk pulang: rumah.
Adapun film In Their Footsteps bercerita tentang perjalanan napak tilas para pemimpin hak sipil muslim Amerika, termasuk muslim Afrika - Amerika. Film ini mengenang pengorbanan nenek moyang mereka yang memperjuangkan hak-hak di tengah segregasi dan rasisme, meski harus mempertaruhkan nyawa.
Sutradara keturunan Suriah - Amerika Serikat Akram Shibly menceritakan filmnya di Madani Film Festival di Jakarta, Selasa 22 Oktober 2019. Antaranews.
Film yang ketiga adalah From a Distance. Film ini menceritakan perjalanan personal Akram yang dibesarkan di Amerika hingga sampai ke pengungsian di kampung halamannya. Andai saja orang tuanya tidak pergi ke Amerika Serikat demi pendidikan, Akram akan mengalami nasib yang sama seperti orang-orang yang ia rekam dalam kamera.
Seusai pemutaran tiga film tadi, Akram Shibly mengatakan bercita-cita membuat film fiksi sebelum membuat karya-karya dokumenter. "Waktu saya belajar film, pada saat yang sama terjadi perang di Suriah," katanya.
Sebelum perang terjadi, pria yang besar di Amerika Serikat itu biasanya berkunjung ke kampung halaman di kota Damaskus setiap libur musim panas. Kota Damaskus adalah rumah keduanya. "Ketika perang terjadi, saya merasa bertanggungjawab menyampaikan suara orang-orang Suriah melalui keahlian saya, yakni membuat film," kata Akram.
Saat kembali ke Suriah untuk membuat film, Akram mengaku terbersit rasa bersalah karena dia termasuk orang beruntung yang bisa hidup sejahtera dan damai di benua lain saat saudara-saudaranya di Suriah terkena dampak perang. "Saya berharap karya ini bisa membuat sedikit perubahan," katanya.