TEMPO.CO, Jakarta - Masih ingat Clara Sumarwati, pendaki puncak Everest Pegunungan Himalaya asal Yogyakarta pada 26 September 1996? Senyum Clara tampak semringah saat memberikan potongan tumpeng nasi kuning kepada Asisten Deputi Olahraga Rekreasi Kementerian Pemuda dan Olahraga Teguh Rahardjo dalam acara Ulang Tahun Pendakian Everest dan Peluncuran Buku di Diraja Café, Sleman, Kamis, 26 September 2019 malam lalu.
Ya, pada tanggal yang sama, tepatnya 23 tahun lalu, Clara menjejakkan kakinya di puncak tertinggi dunia, Gunung Everest pukul 11.00 waktu Tibet. Namanya sempat disebut sebagai perempuan pertama sekaligus manusia pertama Indonesia dan Asia Tenggara yang berhasil mencapai ketinggian 8.848 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu. Sayangnya, keberhasilannya disangsikan dan tidak diakui beberapa pihak.
“Aku salah opo? Kok disia-sia, enggak diakoni (diakui),” keluh Clara, kini 52 tahun.
Lewat buku setebal 450 halaman berjudul Indonesia Menjejak Everest – Membuka Dokumen Sejarah Pendakian Clara Sumarwati, penyusun buku Furqon Ulya Himawan mencoba meluruskan sejarah pendakian Clara. Mengingat ada pro kontra soal orang pertama Indonesia dan Asia Tenggara yang memuncaki Everest.
Ada yang bilang Clara yang mendaki pada 26 September 1996. Pendapat lainnya menyebut anggota Komando Pasukan Khusus (Kopasus) Asmujiono pada 26 April 1997. Namun data-data dan dokumen yang dikumpulkan kian menguatkan Clara sebagai penyandang yang pertama itu.
“Ini buku putih bagi sejarah pendakian Clara. Bisa menjadi referensi siapapun soal proses pendakian Everest, enggak ujug-ujug,” papar Furqon.
Proses verifikasi dimulai Furqon sejak 2018 dengan mengumpulkan data berupa kliping media massa dan buku. “Sebagai jurnalis kan harus skeptis. Jadi harus melakukan verifikasi agar valid,” kata Furqon.
Kliping yang mengulas tentang Clara ditemukan sejak pemberitaan pada 1980-an. Kemudian data empat buku dari penulis yang berbeda, yaitu Ultimate High: My Everest Odyssey (1997) karya Goran Kropp dan David Lagercrantz. Buku Everest: The Mountaineering History (2000) karya Walt Unsworth. Buku Everest; Expedition to The Ultimate (2000) karya Reinhold Messner. Dan buku Everest: Eighty Years of Triumph and Tragedy (2001) karya Peter Gillman. Pada empat buku disebutkan Clara bersama lima sherpa, yaitu Kaji sebagai kepala sherpa, Gyalzen, Ang Gyalzen, Dawa Tshering, dan Chuwang Nima sukses sampai puncak Everest lewat jalur utara (North Col).
Juga database resmi The Himalayan Database yang dikelola Richard Salibusry, berisi nama-nama pendaki yang berhasil sampai puncak Everest. Mulai dari pendaki pertama Edmund Percival Hillary dari New Zealand pada 29 Mei 1953 hingga Pimba Bhote dari Nepal pada 24 Mei 2018. Nama Clara Sumarwati disebut sebagai pendaki ke-837 dari 9.159 pendaki (data 1953-2018).
Sementara database tersebut bersumber dari tulisan jurnalis Amerika, Elizabeth Hawley yang mendokumentasikan secara kronikal nama-nama pendaki Everest. Nama Clara disebutnya dalam laman American Alpine Journal (AAI) terbitan 1997 yang ditulis Eliabeth. “Aku juga mewawancarai orang pertama, yaitu Clara,” kata Furqon.
Wawancara dan data itu diperkuatnya dengan hasil wawancara pendaki Indonesia yang tinggal di Amerika, Ambarwati Briastuti dengan tiga orang saksi. Yaitu anggota Kopassus Gibang Basuki yang menemani Clara mendaki Everest, tetapi tidak sampai puncak. Selepas dari Everest, Gibang meninggalkan Indonesia dan bermukim di Amerika hingga sekarang. Lalu Kepala Sherpa Kaji yang mendampingi Clara hingga puncak. Gibang dan Kaji ditemui Ambarwati di rumah mereka di Amerika. Kemudian Elizabeth Hawley yang ditemui di Nepal sebelum meninggal dunia pada 2018. Ketiganya diwawancara Ambarwati pada 2009.
“Mereka memberi kesaksian yang sama. Clara sampai puncak,” kata Furqon.
Perkenalan Furqon dengan Ambarwati bermula dari korespondensi lewat email. Lalu bertemu di Indonesia untuk menyamakan data. Ambar memberinya sejumlah data untuk melengkapi dan Furqon menambah wawancara dengan sejumlah narasumber lainnya.
Hasil dari wawancara menyebutkan, keraguan orang atas keberhasilan Clara antara lain karena tidak adanya foto pendaki lulusan Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta ketika berada di puncak yang ditandai dengan segitiga. Foto yang tersebar di media massa adalah foto Clara di bawah puncak. Seperti foto Clara memegang bendera Merah Putih di tangan kanan dan majalah Time bersampul gambar Presiden Soeharto di tangan kiri. Masa itu, foto menjadi bukti penguat.
“Padahal foto bisa diedit. Akhirnya kembali pada kejujuran. Dan Clara menyatakan dengan jujur kalau tak punya foto (di puncak),” kata Furqon.
PITO AGUSTIN RUDIANA