TEMPO.CO, Medan - Lembaga Sensor Film atau LSF mencatat film horor mengusai pasar film nasional bahkan bersaing dengan film impor. Persaingan film nasional bertema horor, menurut anggota Lembaga Sensor Film Monang Sinambela, menarik untuk dicermati karena kerap menabrak ketentuan perfilman khususnya penyensoran.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama LSF, ujar Sinambela, gencar melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 tahun 2019 tentang Pedoman dan Kriteria Penyensoran, Penggolongan Usia Penonton, dan Penarikan Film dan Iklan Film dari Peredaran. Tujuannya, mengimbangi perkembangan film nasional khususnya film horor.
Produser atau pembuat film, kata Sinambela, lebih beruntung menggarap film bertema horor dibanding film bermuatan sejarah atau budaya. Contoh, Sinanbela menyebut pendapatan film Pengabdi Setan mencapai Rp 153 miliar dengan jumlah penonton 4.141.090 orang. "Padahal modal membuat film ini Rp 2 miliar," kata Sinambela saat sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 14 tahun 2019 di Medan, Jumat 9 Agustus 2019.
Film horor lainnya yang mencetak hits, menurut Sinambela, adalah film Kuntilanak. Dengan biaya produksi Rp 5,5 miliar mampu mendatangkan keuntungan Rp 45 miliar dan ditonton 1,236 juta orang. "Bandingkan dengan film Sultan Agung: Tahta, Perjuangan, Cinta. Film bergenre drama kolosal penuh sejarah karya Sutradara Hanung Baramantyo hanya menghasilkan Rp 1,4 miliar dengan biaya produksi Rp 20 miliar dan ditonton 39.921 orang," tutur Sinambela.
Lembaga Sensor Film atau LSF melakukan sosialisasi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 14 tahun 2019 tentang Pedoman Penyensoran di Medan, Jumat 9 Agustus 2019. TEMPO | Sahat Simatupang
Anggota Lembaga Sensor Film lainnya, Ni Luh Putu Elly Prapti mengatakan masyarakat lebih senang menyaksikan film horor ketimbang film yang mengandung unsur pendidikan atau sejarah, seperti film Sultan Agung. "Padahal pekerjaan berat ialah melakukan sensor terhadap film horor yang menjamur," ucap dia. Musababnya, film jenis ini kerap mengabaikan kriteria film lolos sensor, seperti tidak mengandung kontain pornografi, tidak bernuansa SARA, dan tidak menimbulkan pemahaman agama yang keliru.
Untuk mengimbangi perkembangan film nasional, pemerintah, ujar Ni Luh mengenalkan program sensor mandiri untuk menjamin perlindungan kepada masyarakat dari pengaruh negatif tayangan film atau televisi. "Sensor mandiri menjadi sistem perlindungan masyarakat agar mampu melindungi diri mereka sendiri dari pengaruh buruk informasi atau film yang mereka saksikan dan mampu memilah serta memilih informasi yang akan dinikmati atau dikonsumsi," tutur Ni Luh.
Cara mudah mendeteksi apakah sebuah film patut disaksikan oleh kelompok usia tertentu adalah dengan mengetahui kategori film. Apakah tayangan itu untuk semua umur (SU), Remaja 13 tahun (R13), Dewasa 17 tahun (D17) hingga Dewasa 21 tahun atau (D21). Selain itu, ketahui juga batasan jam menonton film serta menyesuaikan jam tayang film dengan jam tonton anak.