TEMPO.CO, Yogyakarta -Gelaran Borobudur Writers & Cultural Festival (GBWC) 2018 resmi dibuka oleh pendirinya, Romo Mudji Sutrisno SJ di Yogyakarta, 22 November 2018 petang lalu. Hajatan tahunan yang digelar 22-24 November 2018 di Yogyakarta dan Magelang ini telah memasuki tahun ke-7.
Tahun ini, Borobudur Writers & Cultural Festival mengambil tema besar Traveling & Diary “Membaca Ulang Catatan Harian Pelawat Asing ke Nusantara (dari Yi Jing, Ibnu Batuta sampai Wallace).
“Sudah survive tujuh tahun. Apa sih yang ingin dicari, dituju? Sadar enggak sadar, BWCF ingin menemukan identitas kulturalnya,” kata penulis Toeti Herati dalam pidato sambutannya di Borobudur Ballroom, Hotel Grand Inna Malioboro Yogyakarta, Kamis, 22 November 2018.
Tema tersebut merupakan bentuk perayaan atas catatan harian para pejalan, peziarah India, Muslim sampai Eropa ke Nusantara. Romo Mudji Sutrisno pun mempunyai ketertarikan terhadap Rabindranath Tagore. Seorang musafir India yang pernah singgah ke Nusantara.
“Tagore hanya satu dari ratusan, bahkan ribuan musafir yang dalam sejarah pernah singgah ke Nusantara. Lalu menuliskan kesannya apa yang memikat hati dalam buku harian, surat, atau pun catatan ilmiah,” papar Mudji dalam pidato pembukaan.
Catatan harian sejumlah musafir itu juga dibahas dalam ulasan tujuh buku yang diluncurkan pada hari pertama dan diulas tujuh narasumber dari berbagai kepakaran. Buku pertama adalah Yijing: Kiriman Catatan Praktik Buddhadarma dari Laut Selatan yang diulas Salim Lee, ahli teks suci Budhis yang tinggal di Australia. Lalu ada buku Indonesia di Mata India (Kala Tagore Melawat Nusantara) oleh sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Djoko Suryo, buku Suma Oriental oleh Sri Margana, filolog UGM, dan buku Painting and Description of Batavia in Heydt’s Book of 1744 oleh Mona Lohanda, sejarawan ahli Batavia.
Mona sempat menampilkan sejumlah gambar karya Heydt tentang Batavia pada layar. Seperti gambar bangunan balaikota yang kemudian disulap menjadi Museum Fatahillah. “Tapi Heydt tidak menggambar soal pemberontakan di Batavia, meski melihat. Dia pulang ke Jerman,” kata Mona.
Pemberontakan yang dimaksud adalah pembunuhan massal terhadap warga Tionghoa di Batavia pada 1740 oleh kolonial Belanda. Angkanya diperkirakan mencapai 10 ribu jiwa.
Pada peluncuran buku sesi kedua meliputi novel Kura-kura Berjanggut dibahas penulisnya sendiri, Azhari Aiyub. Buku Napak Tilas Perjalanan Dang Hyang Nirartha di Bali oleh fotografer I Gusti Dibal Ranuh. Buku Islamisasi Bugis yang memuat teks sakral La Galigo versi Bottina I La Dewata Sibawa We Attaweq yang diulas penulis buku dan peneliti teks tersebut, Andi Muhammad Ahmar. Serta buku Gunungkidulan yang misterius karena penulisnya tak bersedia memunculkan identitasnya yang diulas budayawan, Halim HD.
Kurator acara Seno Joko Suyono dalam catatannya menjelaskan, ada beberapa program baru yang ditampilkan dalam BWCF tahun ini. Lewat kerjasama dengan Komite Buku Nasional (KBN), BWCF akan menghadirkan empat sastrawan residensi KBN, yaitu Martin Aleida, Agustinus Wibowo, Cok Sawitri, dan Faisal Oddang untuk berbagai pengalaman riset di mancanegara. Juga ada workshop dongeng anak melalui kerjasama dengan penulis dan praktisi buku anak, Murti Bunanta yang akan mengambil tema tentang Borobudur.
Baca: Borobudur Festival Diharapkan Tarik Ribuan Wisatawan Asing
Ada pula festival film yang digelar di Pondok Pesantren Pabelan di Magelang. Ada tiga film yang akan ditayangkan yang berjudul 3 Doa 3 Cinta, Bid;ah Cinta, dan Khalifah. Pemutaran film dilanjutkan dengan diskusi bersama para santri.