TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah malam, gemuruh kota, dan hujan deras, sepasang suami istri tiba di sebuah kawasan kumuh di Kowloon, Hong Kong. Dalam kondisi hamil besar, si istri cukup payah memasuki lorong demi lorong sebuah hunian yang terbentuk bak labirin, sempit, dan gelap. Keduanya memasuki pintu demi pintu, diiringi perginya lembaran uang di dalam saku.
Preman setempat yang berpenampilan bak ‘Limbad’ dengan rambut gondrong panjang, pakaian serba hitam, dan mulutnya selintas mirip Hanoman sigap memungut bayaran. Sang bayi—yang kemudian diberi nama Alice—lahir dalam kondisi buruk di sebuah rumah susun tak layak tinggal.
Alice tinggal bersama ayah yang temperamen dan ibu yang selalu mencoba melindungi namun kadang abai. Alice dengan dunia imajinasinya berlari menikmati kehidupan di Kowloon dengan caranya. Ia melihat bagaimana kehidupan masyarakat di lingkungan rumah susun yang keras, kriminalitas tinggi, perbudakan yang juga turut ada.
Pementasan Teater Ash di Djakarta Teater Platform (Eva Tobing DKJ)
Dalam petualangannya, Alice pun bertemu dengan seorang perempuan yang menyebut dirinya Ratu City of Darkness, nama tempat ia berada. Ia pun dikenalkan dengan boneka yang membuat alam imajinasinya hidup, oleh pamannya yang dianggap kerap membawa petaka.
Baca Juga:
Kisah Alice dan Kowloon Walled City adalah cuplikan kehidupan masyarakat Kowloon Walled City yang benar-benar ada dan fenomenal di Hong Kong.
Kowloon adalah sebuah hunian yang terletak tak jauh dari Kai Tak, bekas bandara Hong Kong yang eksis sejak 1980-an. Awal berdiri, ada sekitar 50 ribu penghuni mendiami permukiman tersebut. Seiring waktu, jumlah penduduk makin bertambah bahkan menempatkan lokasi ini sebagai kawasan terpadat di bumi dengan kisaran tiap mil persegi dihuni sekitar 3 jutaan penduduk. Bandingkan dengan tiap meter persegi di Hong Kong yang diisi belasan ribu orang saja.
Pementasan Teater Ash di Djakarta Teater Platform (Eva Tobing DKJ)
Penghubung antar bangunan merupakan celah sempit selebar satu atau dua meter saja. Ada jalinan tangga yang menghubungkan antar tempat sehingga sangat mungkin membuat siapapun yang melewati jalan ini, berjalan menuju satu tempat tanpa perlu menyentuh tanah.
Sempitnya jalan, padatnya bangunan, membuat matahari jarang bisa mengisi celah ruang bahkan tanah di dasar bangunan. Air kotor dari pipa bocor pun tak berhenti menetesi siapa saja yang lewat di lorong-lorong jalan.
Dalam pementasan ini, gambaran arsitektur yang demikian rumit, sesak nan sumpek digambarkan lewat kotak-kotak beroda yang begitu dinamis bergerak dan berpindah. Meja-meja yang kadang bisa jadi jalan. Pencahayaan redup nan suram menegaskan seperti apa suasana hunian yang sulit diterobos matahari saat pagi dan siang.
Bangunan dan kehidupan masyarakat di dalamnya memiliki kisah yang kuat dan menarik. Meski kini sudah masuk lebih dari dua dekade kawasan tersebut dihancurkan. Sutradara teater asal Inggris, David Glass bersama kelompok teater Ash asal Hong Kong dan beberapa seniman Indonesia menyajikan kehidupan Kowloon dalam kemasan tragi-komedi dengan pemeranan tokoh komikal dalam balutan artistik visual layaknya sebuah tontonan sinema.
Ekspresi-ekspresi pemain cenderung berpantomim, merenggut, tertawa, kaget, marah, terlihat jelas di atas pentas lewat sorotan lampu yang pas. Demikian dengan gerakan dan tarian yang meliuk lentur. Ekspreai dan gerak mewakili sebuah cerita yang berjalan nyaris tanpa kata, tanpa dialog. Ada beberapa dialog hadir leeat rekaman suara yang sember.
Perjuangan manusia menjalani hidup dalam sebuah koloni masyarakat yang berada di lapisan bawah digambarkan begitu pelik dan menggelitik. Sebagai pementasan kolaborasi, banyak unsur diramu dalam pementasan ini seperti unsur Asia yang diwakili opera Cina, Butoh Jepang, tari Jawa, serta teater boneka Asia yang dibalut disiplin teater barat semacam Meyerhold, Grotowski, dan LeCoq.
David Glass menuturkan pementasan ini merupakan sebuah metafora kehidupan manusia di mana pun. “Ini merupakan metafora saat manusia mulai memuja uang,” ungkap Glass saat ditemui di Taman Ismail Marzuki, 6 September 2018.
Dalam menyajikan City of Darkness, Glass memberikan sentuhan banyak unsur seni di dalamnya. Menurutnya ini adalah sebuah bukti bahwa kini, sekat yang ada dalam seni pertunjukkan perlahan melebur. Unsur dalam film dan teater bisa menyatu.
Pementasan ini dimainkan di Jakarta pada 6 dan 7 September di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Pementasan tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan Djakarta Teater Platform 2018.
Teater Ash dalam Festival Djakarta Teater Paltform
Pementasan ini senafas dengan tema besar yang diusung Djakarta Teater Platform kali ini, Silent Mass atau Massa Diam. Tema ini dipilih untuk merangkum aktivitas lab penciptaan eksperimental kurasi teater. Massa Diam dijadikan ruang redam atau pelumeran dari titik ekstrem kehidupan publik yang kini mudah terprovokasi kabar bohong, kabar yang tersebar luas dan nihil pembuktian mendalam.
Beberapa kelompok teater dikurasi dan dipilih untuk menyajikan pementasan yang mewakili isu massa perkotaan saat ini. Selain Teater Ash dengan City of Darkness yang mewakili kota sebagai situs perubahan, ada juga Rokateater dari Yogyakarta dengan pentas Passport, Passphoto mewakili isu media sosial sebagai aktivasi penyadaran terhadap arsip. Atau pentas Curious Directive dari Norwich, Inggris meneropong atau melihat realitas pasca-kebenaran melalui media virtual.
“Festival yang sifatnya sebuah laboratorium penciptaan ini mengambil ‘ruang ekstrem’ sebagai kata kunci dan memperkecilnya sebagai mikro untuk kemungkinan terjadinya pertemuan antarsubjek dalam tradisi spectacle teater,” tutur pimpinan Dewan Kesenian Jakarta, Irawan Karseno. Sehingga menurutnya, beberapa pertunjukan yang hadir akan melihat penonton sebagai ruang bukan semata hitungan.
Festival ini digelar sejak 6 September 2018, berlangsung hingga Oktober mendatang di Graha Bhakti Budaya, TIM dan Studio Tom FTJ Institut Kesenian Jakarta.