TEMPO.CO, Solo - Justru bukanlah sang bapak, Wiji Thukul, yang pertama kali mendidihkan darah seni di tubuh Fitri Nganthi Wani, penyair perempuan asal Kota Solo yang baru saja meluncurkan buku kumpulan puisi keduanya, Kau Berhasil Menjadi Peluru.
Baca: Dua Anak Wiji Thukul Berkolaborasi Bawakan Puisi, Bikin Merinding
“Yang paling membekas bagi saya itu justru karya-karyanya Seno Gumira Ajidarma,” kata Fitri, putri bungsu dari pasangan Wiji Thukul dan Dyah Sajirah itu saat berbincang dengan Tempo pada Rabu, 5 September 2018.
Perkenalan Fitri dengan karya Seno Gumira bermula saat dia diajak ibunya, Dyah Sajirah yang akrab dipanggil Sipon, menonton pertunjukan teater di Taman Budaya Yogyakarta pada medio Agustus 2001. Sebagai salah satu penyintas Tragedi Mei 1998, sejak suaminya konon menghilang pada kurun 1996 - 1998, Sipon diundang dalam pertunjukan yang diproduksi oleh Perkumpulan Seni Indonesia (PSI) yang bekerja sama dengan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) itu.
Kala itu Fitri masih duduk di bangku SMP Pangudi Luhur Bintang Laut Solo. Di Jogja itulah kali pertama Fitri menyaksikan pementasan drama yang menurut dia begitu indah. “Drama itu berjudul Mengapa Kau Culik Anak Kami? Saya masih ingat betul, pemainnya saat itu Landung Simatupang,” kata Fitri yang kini berumur 29 tahun, bersuami, dan punya satu anak berumur enam tahun.
Mengapa Kau Culik Anak Kami: Tiga Drama Kekerasan Politik adalah kumpulan drama karya Seno Gumira yang terdiri dari naskah tiga babak yang dikemas dan diangkat dari kisah nyata. Drama yang mengisahkan penderitaan warga akibat kerusuhan dan konflik sosial perebutan kekuasaan di Jakarta itu dipentaskan di Taman Ismail Marzuki Jakarta dan Taman Budaya Yogyakarta pada Agustus 2001. Selain Landung Simatupang, drama tersebut juga dimainkan oleh Niniek L. Karim.
“Awalnya kupikir bakal membosankan, ternyata tidak. Tata bahasanya bagus,” kata Fitri. Tumbuh dalam generasi yang diasuh oleh tayangan sinetron dan telenovela di televisi, Fitri pun terkagum-kagum saat menyaksikan drama tersebut. Sepulang dari Jogja, mulailah Fitri berburu karya Seno Gumira dan karya-karya sastra lain yang memupuk jiwa seninya.
“Selain Seno Gumira, saya juga suka karya Pram (Pramoedya Ananta Toer),” kata Fitri. Hobi membaca karya sastra itu kian menebal setelah Fitri melanjutkan sekolah di SMA Regina Pacis Solo dan sempat kuliah sampai semester tujuh di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
“Aku lebih banyak membaca fiksi seperti karya-karyanya Ayu Utami. Baca puisi suka juga, tapi referensinya kan sedikit. Kalau puisi, siapa tak kenal dengan sang maestro Kahlil Gibran. Aku juga suka karyanya Joko Pinurbo, unik ya sebagai lelaki menulis puisi-puisi seperti itu,” kata Fitri.
Sementara bapaknya sendiri, Wiji Thukul, tidak menempati urutan teratas dalam daftar sastrawan yang memengaruhi proses kreatif Fitri, lantas siapa musisi yang paling sering menjejali telinganya dengan inspirasi? Fitri sontak tertawa saat Tempo menyodorkan nama Fajar Merah, adiknya yang kini sedang mempersiapkan album kedua bersama band Merah Bercerita.
“Musisi favorit saya dan favorit orang banyak dari berbagai belahan dunia adalah Sia (Sia Kate Isobelle Furler, 42 tahun, penyanyi dan penulis lagu asal Australia),” kata sulung Wiji Thukul tersebut.