TEMPO.CO, Karanganyar - Pesatnya perkembangan teknologi di era digital tidak serta merta melumat segala hal yang berbau tradisional. Munculnya beragam wahana hiburan baru yang serba canggih pun tak seketika meruntuhkan pamor seni pertunjukan ‘jadul’ seperti wayang. Hal tersebut dituturkan Ki Manteb Soedharsono.
Baca: Dalang Ki Manteb Sudarsono Menikah Ketujuh Kalinya
“Karena menurut saya, wayang itu nut jaman kelakone (mengikuti perkembangan zaman),” kata dalang kondang Ki Manteb Soedharsono saat wawancara khusus dengan Tempo di Sanggar Bima, padepokan sekaligus kediamannya di Desa Doplang, Kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, pada Rabu, 18 Juli 2018.
Ki Manteb mengatakan, dalang masa kini musti pintar membaca situasi dan kondisi serta mau berjalan seiring dengan perubahan zaman. “Kalau dalang sekarang hanya tunduk sesuai pakem seperti zaman dulu ya masuk kotak (istilah bagi wayang yang sudah tidak akan ditampilkan lagi saat pementasan) beneran,” kata dalang yang lahir di Kabupaten Sukoharjo pada 69 tahun silam itu.
Menyandang julukan sebagai dalang maestro tidak lantas membuat Ki Manteb berleha-leha atau duduk manis menunggu order berdatangan sendiri. Justru sebaliknya, besarnya popularitas yang dia sandang berbanding lurus dengan beratnya tanggung jawab untuk senantiasa menyuguhkan permainan wayang yang benar-benar dapat menghibur penonton masa kini tapi tetap menjaga pakem.
“Sekarang semuanya harus serba cepat, jadi bet, bet, bet. Dalang zaman dulu enak, bisa sambil ngantuk-ngantuk karena semalam suntuk. Sekarang nggak bisa, harus belajar inovatif. Kelamaan ndalang, penonton bubar,” kata Ki Manteb yang sudah kebanjiran order untuk mendalang di 13 tempat, baik di Jawa maupun luar Jawa, pada Agustus mendatang.
Menyiasati zaman serba cepat itulah, Ki Manteb berujar, lahirlah beberapa inovasi atau terobosan baru di dunia seni pertunjukan wayang kulit. “Sekarang ada pakeliran padat, dua atau tiga jam sudah selesai. Ada juga banjaran yang merangkum tiga sampai empat lakon dalam sekali pentas,” ujar Ki Manteb.
Salah satu pementasan wayang bajaran yang kerap dimainkan Ki Manteb adalah kisah tentang Bima (salah satu tokoh Pandawa dalam epos Mahabharata). Demi menghemat biaya dan menyingkat waktu, tiga lakon tentang Bima; mulai dari kisah kelahirannya, masa-masa Bima babat alas, hingga cerita Bisma saat berguru, kini digabung menjadi satu pertunjukan dalam semalam.
“Nah, model wayang banjaran seperti itu bergantung pada pintarnya si dalang dalam meramu cerita agar padat, tidak merusak pakem, dan tetap menarik bagi penoton,” kata Ki Manteb. Maka itu, dia menyarankan kepada para dalang muda agar tidak mudah puas dengan pencapaiannya selama ini. “Tidak ada kata berhenti untuk belajar dan berinovasi. Kalau berhenti, tamatlah riwayat kesenian tradisional kita,” kata Ki Manteb Soedharsono.