TEMPO.CO, Jakarta -Gaya bicara Jason Ranti yang eksentrik dan lugas tak jauh berbeda dengan lirik lagu-lagu folk miliknya. Lagu Bahaya Komunis dalam album Akibat Pergaulan Blues membuat penyanyi solo ini ramai dibicarakan. Lagu itu bahkan masuk dalam daftar nominasi Anugerah Musik Indonesia 2017. Dengan gaya satire, Jason lugas bercerita tentang kekhawatiran berlebihan sebagian orang akan bangkitnya paham komunisme.
Melalui gitar akustik dan harmonika, tempo dan nada-nada yang tidak stabil, laki-laki 32 tahun ini seakan sedang meracau. Terkadang, dia bernyanyi seraya berbisik-bisik, berteriak, cepat, dan lambat. Lagu-lagu itu terangkum dalam album yang baru dirilis medio tahun ini dengan label Demajors.
Jason mengatakan lagu-lagunya sering ditafsirkan secara berbeda. Tak jarang, dia mengimbuhkan, muncul pertanyaan tak biasa terhadap lagu-lagunya yang memang tak biasa itu. Tapi Jason mengaku tidak pernah menanggapi serius pertanyaan-pertanyaan tersebut. "Saya menanggapinya dengan aneh-aneh juga," ujar dia seraya tergelak kepada Tempo, seperti yang dimuat dalam Koran Tempo edisi 7 Desember lalu.
Jason menyebut contoh saat dirinya pernah mendapat pertanyaan: mau tidak jika didekati penguasa, untuk meraih simpati masyarakat? "Saya jawab, mau dong. Tapi, kita ambil duitnya, lalu serang dari belakang. Kan seru tuh." Pernah pula dia ditanya, apakah mau menjadi politikus? "Lebih baik menjadi pendakwah," ujar dia.
Beberapa lirik lagunya dianggap menabrak-nabrak pemahaman dan ideologi berbagai kelompok. Jason mengaku gaya penulisan lirik tersebut sengaja ia pakai agar bisa bebas membungkus sindiran tajam.
Gaya Jason dalam membawakan lagu-lagu folk sekilas mirip Bob Dylan dan Iwan Fals yang kerap mengusung tema sosial dan kemanusiaan. Namun dia selalu menolak dikaitkan dengan musikus lain. "Saya hanya ingin jadi diri sendiri," ucap dia.
Menulis lirik bagi seorang Jason adalah menyusun kolase. Dia tidak harus berjam-jam berdiam diri atau pergi jauh dari keramaian hanya untuk menciptakan lagu. Bagi alumnus Psikologi Universitas Atmajaya ini, kepingan ide dan lirik lagu bisa ditemukan di mana saja, bahkan saat menaiki sepeda motor. Biasanya, ia akan mencatat segala hal yang tebersit tanpa rencana. "Ditulis di sini, lalu tulis di sana. Kalau ingat, buka lagi (catatan)," kata Jason.
Lagu berjudul Kafir tak kalah pedasnya. Jason menyindir kelompok yang ia sebut berjalan dengan sejuta ancaman dan pikiran seragam kepada minoritas. Namun Jason sendiri tidak mau mengklaim lagunya itu sebagai kritik sosial. "Itu lebih kepada masalah personal saya, lalu kemudian dipersepsikan orang lain sebagai kritik sosial," kata dia.
Melalui lagu Stephanie Anak Senie, Jason jelas-jelas menyentil beberapa tokoh publik. Dengan nada merendah, Jason mengaku dirinya bukanlah siapa-siapa, sehingga lagu-lagunya juga tidak pantas dipolitisasi, diseret ke penegak hukum, atau dipersekusi. "Saya lihat, masyarakat saat ini bukan apa yang dibicarakan, tetapi siapa yang bicara, bukan apa isi omongannya. Saya yakin saya tidak buat salah," ujar Jason.
Pria yang akrab disapa Jeje ini mengatakan tak ada konsep yang jelas dari lagu-lagunya. Tak ada pula tokoh sumber inspirasi dalam setiap karyanya. Menurut Jason, sumber ide karya-karyanya sering datang dari orang yang tidak ia duga, tak jarang dari orang-orang terdekatnya.
Jason mengenang, saat masih duduk di kursi sekolah menengah atas, seorang guru pelajaran bahasa Indonesia membacakan puisi Rendra berjudul Nyanyian Angsa. Puisi itu menjadi pemicu yang membuat sosok Jason menjadi seperti sekarang.
Ayah satu anak ini juga mengagumi karya-karya penyair Joko Pinurbo yang melompat-lompat. Menurut Jason, puisi Jokpin-sapaan Joko Pinurbo-membawa angin segar lantaran selalu membawa tema yang berbeda dari syair-syair lain. Tak hanya itu, seraya bergurau Jason juga menganggap pemberitaan kriminal di koran kuning sebagai puisi yang indah.
Jason mengaku akan berpikir dua kali untuk menulis lagu bertemakan cinta. Dia berujar, meski diminati konsumen, lagu romantis tidak membumi dan mengawang-awang. Pernah Jason mencoba menulis lagu cinta, tapi tidak puas akan hasilnya. Bagi dia, berita di dalam sebuah koran metropolitan yang dikenal dengan judul-judul panjang dan bombastis lebih menarik dan menghibur. "Koran itu bagi saya puisi juga. Provokatif dan riil," kata dia.
Jason tidak mau dikenal sebagai musikus. Ia menilai yang ia lakukan selama ini bukanlah bernyanyi, melainkan berdakwah dengan tidak membawa pesan moral. Jason menyebut dirinya sebagai pendakwah kebangsatan-bukan kebangsaan.
Mantan gitaris band Stairway to Zinna itu menyebutkan tidak bisa membahagiakan semua pihak dalam setiap karya-karyanya. "Sebenarnya lagu saya itu hanya untuk membuka ruang diskusi, tapi kalau pesan moral tidak ada," dia mengungkapkan.
*Tulisan ini dimuat di Koran tempo edisi Akhir Pekan, Sabtu, 7 Desember 2017