TEMPO.CO, Denpasar -Lembaran-lembaran kertas berhamburan dari seorang pria yang membelakangi penonton. "Ini apalagi? Sana perbaiki semua!" kata Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa saat pentas dalam rangkaian Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya di area parkir Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah, Denpasar, Minggu, 19 November 2017. Arya mementaskan monolog berjudul 'Pemimpin' karya Putu Wijaya.
Arya memutar kursi menghadap ke puluhan penonton, sorot cahaya lampu mulai mengubah suasana yang sebelumnya temaram. Arya melanjutkan bermonolog menggambarkan sikap sebagai seorang pemimpin yang sewenang-wenang. Dokter yang kini bertugas di RSUP Sanglah itu terakhir mementaskan teater pada 22 tahun lalu. Saat itu, Arya masih bersama komunitas Sanggar Minum Kopi.
Meskipun sudah lama ia tidak menjajal seni pertunjukkan, namun ia tidak ingin terbebani saat bermonolog. "Monolog itu bisa dibaca dan dimainkan sendiri, enggak perlu banyak orang dan waktu khusus," tutur dokter yang memiliki minat seni dalam menulis puisi dan cerita pendek (cerpen).
Terang sorot lampu kini mengarah ke Putu Satria Kusuma. Dramawan asal Singaraja, Kabupaten Buleleng itu tampil setelah Arya. Penggagas Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya itu mementaskan naskah berjudul 'Setan'.
Satria menggunakan kopiah serta menenteng tas, tangan kanannya menggenggam penggaris. Ia memerankan tokoh sebagai seorang guru. "Saya bisa mengubah anak yang otaknya udang menjadi jenius seperti Einstein," ujarnya saat mulai bermonolog.
Satria bicara dengan nada yang tegas serta sorot matanya tajam memberikan tekanan. Ia memainkan monolog itu menggambarkan tentang para pejabat yang berpendidikan, namun berperilaku layaknya penindas. "Bekas murid saya setelah mereka pintar dan menduduki jabatan penting di pemerintahan, bukan melayani rakyat tetapi sibuk menggandakan uang untuk kepentingan sendiri," tuturnya. "Ini yang membuat saya kecewa, sehingga saya terpaksa pergi dari tempat mengajar itu."
Satria tampil komunikatif dengan penonton. Meskipun menggambarkan tokoh yang penuh amarah. Namun di beberapa bagian, Satria melontarkan kejenakaan sehingga penonton tergelak.
Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya dipentaskan secara maraton di seantero Bali. Acara tersebut dimulai pada Maret lalu di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Singaraja. Perjalanan festival monolog karya Putu Wijaya akan berakhir Desember. Monolog 'Pemimpin', kemudian 'Setan' adalah pementasan yang ke-66.
Menurut Satria, festival monolog diadakan dengan semangat kesederhanaan. "Belum ada pementasan di rumah sakit. Mudah-mudahan (pentas monolog) menjadi sentuhan budaya," ujarnya.
Ia menambahkan Festival Monolog Bali 100 Putu Wijaya menjadi wadah untuk menumbuhkan gairah teater bagi semua kalangan, terutama generasi muda. "Tidak mencari kualitas (pementas monolog), karena ini bagi yang berminat. Ya, berusaha mencari yang baru dan menarik," katanya.