TEMPO.CO, Jakarta -Lembah gurun itu terhampar datar. Pegunungan mengitarinya dari kejauhan. Di tempat sunyi itu seseorang terlihat melintas seorang diri. Selebihnya hanya tanah dan langit dalam foto-foto hitam putih karya Klavdij Sluban, 54 tahun.
Masuk ke perkotaan, suasana sepi berganti. Atap permukiman yang berbalut salju dan gedung apartemen terlintas. Langkah Klavdij Sluban sempat berhenti di bawah jembatan penyeberangan. Kamera lelaki berdarah Slovenia itu menangkap siluet orang yang berjalan dan membawa sepeda.
Dari balik jendela kereta, fotografer kelahiran Prancis, 3 Maret 1963 itu sempat mengabadikan beberapa sosok perempuan di peron. Sluban juga tertarik untuk memotret sekelompok orang tengah bermain catur sederhana di meja bundar yang digambari sembilan kotak.
Selanjutnya kesan sunyi kembali muncul dari sosok seorang petugas penjaga perbatasan yang sedang melangkahi rel pada malam hari. Belasan karya Klavdij Sluban tersebut merupakan seri foto ketika melintasi Trans Siberia seperti melewati Mongolia dan wilayah Cina, maupun Trans Tibet pada kurun waktu 2004-2007.
Menyukai fotografi sejak remaja, Sluban yang telah meraih gelar master sastra Anglo-Amerika pada 1986 melepaskan profesinya sebagai pengajar Bahasa Inggris di Paris.
Setelah mendalami foto hitam putih di studio Georges Fèvre, ia mengabdikan diri sebagai fotografer dan melakukan banyak perjalanan. Secara marathon ia singgah ke Balkan, sekitar Laut Hitam, Laut Baltik, Yerusalem, Amerika Latin, Asia dan Cina dengan kereta Trans-Siberia, Jepang, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
Peraih Niepece Award 2000 dan Leica Award 2004 itu kini salah satu fotografer kontemporer ternama khususnya fotografi dokumenter dan jalanan. Karyanya menjadi koleksi antara lain, National Fund of Contemporary Art National Library of France, European House of Photography Paris, Metropolitan Museum of Photography Tokyo, Museum of Photography Portugal, Museum of Modern Art Slovenia, juga Fine Arts Museum of Canton, China.
Pengunjung melihat foto-foto hitam putih karya Shamow'el Rama Surya yang dipamerkan di Bandung. Tempo/Anwar Siswadi
Sebagian karya Sluban kini tengah dipamerkan bersama karya foto Shamow’el Rama Surya yang berjudul Yogyakarta: Street Mythology di Nuart Sculpture Park Bandung.
Pameran yang digagas Distorted Darkroom bersama Institut Prancis di Indonesia (IFI) Bandung itu berlangsung 20 Oktober hingga 19 November 2017. Cara terbaik ‘membaca’ kekaryaan kedua fotografer itu, kata kurator pameran Sari Asih Joedawinata, tidak dari satu per satu foto.
Tanpa narasi tertulis bagi pengunjung, Asih menyusun rangkaiannya di ruang pameran dengan pertimbangan adanya keterkaitan atau kedekatan peristiwa antar foto dari masing-masing fotografer.
Menurut Asih, karya Sluban bisa multi tafsir. Gambar lansekap misalnya dapat diartikan sebagai cerminan dirinya yang ditampilkan lewat obyek foto pilihannya. “Dia semacam memotret perasaannya lewat alam atau benda,” katanya di sela acara pembukaan pameran, Jumat malam, 20 Oktober 2017. Di sisi lain, karya dokumenter Sluban bisa diartikan sebagai jejak karyanya lewat berbagai perjalanan ke penjuru bumi.
Shamow’el Rama Surya, kini 47 tahun, juga membuat seri karya fotonya dari hasil perjalanan di Yogyakarta pada 1999. Ketika itu ia sedang kuliah di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta pada 1998 – 2000. Rama berburu dengan kamera berfilm hitam putih. Ia mulai mendalami fotografi tanpa warna itu sejak 1991 kemudian membuat buku fotografi perdana berjudul Yang Kuat Yang Kalah pada 1996. “Foto hitam putih itu lebih sederhana secara visual dan kuat impresinya, “kata Rama, Sabtu, 21 Oktober 2017.
Rama berusaha mengenali kota itu sambil menyandingkan momentum awal masa reformasi di Indonesia. Masa itu menunjukkan beberapa perubahan, peralihan, yang terjadi di masyarakat, sekaligus kesenian tradisional maupun mitos yang bertahan.
Seperti Sluban, karya Rama juga tergolong dokumenter dan fotografi jalanan. Ia memotret seorang lelaki tua di depan rumah dengan pajangan berbentuk burung Garuda Pancasila dari bilah bambu. Dari pinggir jalan bidikannya mengarah ke kumpulan orang di depan sebuah rumah duka berlatar depan seorang pengendara sepeda sedang melintas sambil memegang payung.
Tema pameran yang menjadi benang merah kekaryaan dua fotografer itu soal pencarian makna dibalik penampakan fisik atau material obyek foto dokumentasi di lingkungan asing. Di tengah gempuran budaya material, hiruk pikuk pembangunan, maupun kasus penggusuran yang membuat penat, pameran ini menawarkan jeda untuk menyelami dunia imaterial.
ANWAR SISWADI