Menarikan Ronggeng Dukuh Paruk
Selasa, 22 Mei 2007 18:35 WIB
TEMPO Interaktif, Solo: Purnama bersinar penuh membuat lingkaran menerabas daun-daun bambu yang bergoyang ketika kelambu dari kain putih itu terkuak dari dalam. Seorang penari ronggeng duduk bersimpuh gelisah. Seperti ada yang ditunggu sekaligus tak diharapkan. Namun ketika sesosok laki-laki berkelebat masuk, dia tak mampu menolak birahi si pria itu. Selendangnya terbang ke luar kelambu berkejaran dengan baju sang penakluk. Yang terlihat kemudian adalah siluet gerakan-gerakan erotis keduanya. Adegan Bukak Klambu itu muncul dalam pementasan Banjaran Ronggeng Dukuh Paruk, sebuah pagelaran tari karya Cahwati di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) Solo, Senin (14/5) malam lalu. Bersama dengan Kelompok Pring Serentet yang digawangi seniman alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Cahwati membaca novel trilogi karya Ahmad Tohari dengan bahasa tubuh. "Saya fokus pada pergulatan batin Srintil, tokoh dalan trilogi itu dalam karya tari," kata Cahwati. Cahwati membagi pertunjukan itu menjadi lima babak. Dalam katalog pertunjukkan disebutkan, Banjaran Ronggeng Dukuh Paruk, merupakan kisah tokoh sentral sejak kelahirannya sampai dengan kehancuran Srintil. Banjaran Ronggeng Dukuh Paruk diawali dari suasana pedesaan di daerah Banyumas yang divisualisasikan melalui setting panggung dan musik iringan calung yang dikomandani komposer Yayat Suhiryatna. Empat penari laki-laki, masing-masing Boby Ari Setiawan, Danang Pamungkas, Dedy Satya Amijaya dan Susilo serta seorang penari perempuan, Iik Suryani membuat gerakan-gerakan teaterikal menggambarkan aktivitas orang-orang desa. Mereka saling panggul- memanggul saat desa Paruk terkena bencana keracunan tempe bongkrek. Terdengar suara lolongan kesakitan yang menyayat sesaat sebelum lampu padam mengakhiri bapak pertama pertunjukkan. Dari tempat duduk penonton yang malam itu cukup banyak, Srintil, masuk ke panggung. Ronggeng itu berdandan sensual. Cahwati, yang menjadi Srintil, pun malam itu benar-benar menjadi seorang ronggeng yang saat ini sudah mulai jarang dijumpai. Dia menari dengan gerakan-gerakan khas tarian lengger yang erotik. Banjaran Ronggeng Dukuh Paruk, tak ubahnya menjadi pagelaran tari lengger atau ronggeng. Apalagi, Srintil pun melempar sampur, memilih penonton menjadi patner menari di atas panggung. Boleh jadi kalau tujuan Cahwati mengetengahkan pergulatan Srintil seperti yang ada pada novel trilogi karya Ahmad Tohari, itu nyaris sulit ditemukan. Puncak dari banjaran (kisah panjang seseorang), hanya pada saat Srintil melakukan upacara buka kelambu dan ketika dia menjadi ronggeng. Babak-babak lain yang dipentaskan kemudian menjadi sekedar ornamen. Satu hal yang patut dicatat dari pertunjukkan malam itu adalah kemampuan Cahwati menghadirkan seni pertunjukkan rakyat itu dalam arena pertunjukkan “formal”. Seni tradisi yang bebas, interaktif dengan penonton, serta humor segar baik melalui verbal maupun gerak sering muncul. Simak misalnya ketika tentara hadir di Dukuh Paruk, Cahwati membuat semacam parodi. Dengan durasi sekitar satu jam, sulit rasanya untuk mengatakan Banjaran Ronggeng Dukuh Paruk sebagai visualisasi dari novel itu. Cahwati memang membaca novel dengan caranya, melalui bahasa gerak. IMRON ROSYID