Lukisan Kaca, Seni Populer Rakyat yang Tenggelam

Reporter

Jumat, 14 April 2017 12:00 WIB

Saiman Rais (66) sedang menyelesaikan lukisan semar berukuran 55cm x 55cm di rumahnya kampung Rejowinangun, Kotagedhe, Yogyakarta, 8 Mei 2015. Saiman Rais adalah salah seorang pelukis yang memilih menggunakan kaca sebagai media melukis. TEMPO/Pius Erlangga.

TEMPO.CO, Jakarta -Seni lukis kaca saat ini mungkin bukan seni yang banyak diminati masyarakat. Tetapi pada akhir abad ke-18 sampai ke-19, karya ini merupakan karya seni yang populer. Tak hanya dimiliki oleh orang kaya dan kalangan ningrat saja, masyarakat kebanyakan pun banyak memilikinya. Peneliti Prancis Jerome Samuel memaparkan penelitiannya selama belasan tahun tentang karya ini.

“Ini karya yang populer, semua kalangan memilikinya. Memang tergantung ukurannya,” ujar Samuel saat memaparkan penelitiannya di auditorium Institut Prancis di Indonesia (IFI), Rabu, 12 April 2017. Dia memaparkan penelitian tentang karya lukis kaca ini dari diskusi yang digelar IFI bekerja sama dengan Lembaa Prancis untuk Kajian Asia Tenggara (EFEO).

Untuk kalangan bangsawan, terpelajar atau orang kaya biasanya memilih lukisan dalam ukuran yang besar. Sedangkan rakyat jelata biasanya memilih dalam ukuran yang kecil. Rakyat Jawa, khususnya di sekitar Solo- Yogyakarta datang ke kota itu untuk membeli lukisan kaca itu. “Harganya terjangkau untuk masyarakat saat itu, ada data harga berapa sen atau gulden,” ujarnya. Samuel juga menjelaskan pengumuman di sebuah koran yang menemukan tulisan lukisan kaca yang ketinggalan di gerbong dan dilelang.

Direktur Pusat Studi Asia Tenggara di Prancis (CNRS-EHES-INALCO) ini menjelaskan pada abad 18-20, diperkirakan jumlahnya mencapai jutaan keping. Dia mengasumsikan dari jumlah penduduk saat itu dari data sensus Belanda. Lukisan kaca ini diperkenalkan oleh para pelukis Eropa dan Cina. Di nusantara kemudian dikembangkan dengan corak dan tema lokal dan percampuran budaya seperti Jawa, Eropa, Cina dan Muslim. Mereka memajang lukisan itu sebagai simbol status, tolak bala dan hiasan.

Ia mengakui penelitian tentang lukisan kaca ini baik di Eropa maupun di Indonesia masih sangat sedikit. Data awal tentang lukisan kaca ini diperoleh dari log book penjelajah Jerman yang menulis tentang Sultan Sumenep yang mempunyai hobi melukis kaca pada 1850. Penelitian pertama dilakukan oleh Hooykas –van Leeuwen Boomkamp, pada 1930 yang menggambarkan situasi kerajinan lukisan kaca di Yogyakarta saat itu. Data berikutnya banyak dijelaskan oleh peneliti Jepang yang dipimpin Seichi Sasaki pada 1980.

Lalu diteruskan dari penelitian Eddy Hadi Waluyo tentang revitalisasi lukisan kaca di Yogyakarta, Solo, Cirebon dan Buleleng Bali untuk periode 1980-2000. Ia mendapatkan foto-foto lukisan kaca dan lukisan lalu mengkategorikannya berdasar tema lukisan. Cukup menarik melihat keragaman tema-tema lukisan kaca ini. Lebih dari 90 persen data yang dikumpulkan, kata dia, karya tersebut tidak bertanggal dan anonim.


Lukisan kaca karya Hadi Koco

Tema yang ditemui mulai dari tema lukisan masjid, wayang, gambar tolak bala, sejarah Belanda (seperti gambar pembunuhan Kapten Tack dan Untung Suropati yang dilarang dibuat dan diperjualbelikan oleh Belanda), budaya Jawa,gambar kraton, lukisan pengantin, dagelan, gambar putrid Cina (Putri Campa), kaligrafi Cina. Tetapi ada pula yang cukup menarik ketika ditemukan lukisan kaca sebagai ikon modernitas dengan gambar kapal Perang Turki zaman Ataturk-Ottoman. “Yang lukisan kapal ini ada di Cirebon, ada catatan promosi pada 1925-1930,” ujarnya.

Lukisan kaca ini di Jawa terpusat di Solo, Yogyakarta dan Cirebon. Di luar Jawa, kata Samuel, juga ditemukan di Bali. Ada pula lukisan kaca di Minang dan Bengkulu. Kebanyakan temanya dongeng lokal, kaligrafi, masjid dan bunga.

Karya lukisan kaca ini perlahan-lahan mulai surut. Apalagi setelah muncul seni dengan medium lain seperti kanvas dan fotografi. “Ya selera orang berubah, yang kalangan bangsawan, kaya bisa mengakses fotografi.”

Dia menyebut periode 1940-an merupakan titik penting seni lukis kaca ini karena terdapat tema mendasar pada era penjajahan Jepang dan pasca kemerdekaan. Dia mencontohkan tema lukisan masjid pada 1918-an populer gambar masjid Demak, tetapi pasca kemerdekaan yang populer adalah masjid Syuhada .

Pada 1960-an masih banyak ditemukan lukisan bergambar wayang, masji dan pengantin ditemukan di rumah-rumah warga kebanyakan. Pada 1970-an, karya ini juga mencapai kejayaannya pasca kemerdekaan lalu perlahan meredup kembali. Hingga kemudian Pemerintah Daerah Cirebon kembali menggalakkan karya lukis ini sebagai upaya revitalisasi dan ikon daerah.
DIAN YULIASTUTI

Berita terkait

Menjelajah Joyland Festival Bali 2024, Destinasi Wisata yang Inklusif dan Ramah Keluarga

58 hari lalu

Menjelajah Joyland Festival Bali 2024, Destinasi Wisata yang Inklusif dan Ramah Keluarga

Berikut keseruan Joyland Festival Bali 2024 yang insklusif dan ramah keluarga dengan menghadirkan stan White Peacock hingga pilihan panggung musik.

Baca Selengkapnya

Butet Kartaredjasa Kritik Pemprov DKI yang Naikkan Harga Sewa Gedung Pertunjukan

15 Januari 2024

Butet Kartaredjasa Kritik Pemprov DKI yang Naikkan Harga Sewa Gedung Pertunjukan

Seniman Butet Kartaredjasa mempertanyakan alasan kenaikan harga gedung pertunjukan di DKI Jakarta

Baca Selengkapnya

Tak Ada Tema Kesenian dan Kebudayaan dalam Debat Capres-Cawapres, Begini Respons Budayawan dan Pekerja Seni

5 Desember 2023

Tak Ada Tema Kesenian dan Kebudayaan dalam Debat Capres-Cawapres, Begini Respons Budayawan dan Pekerja Seni

Lima tema debat capres-cawapres telah disampaikan KPU, tak ada tema soal kesenian dan kebudayaan. Begini respons budayawan dan pekerja seni.

Baca Selengkapnya

Debat Capres-Cawapres Pilpres 2024 Tak Ada Tema Kesenian dan Kebudayaan, Akmal Nasery Basral: Kerugian Besar Bangsa Ini

5 Desember 2023

Debat Capres-Cawapres Pilpres 2024 Tak Ada Tema Kesenian dan Kebudayaan, Akmal Nasery Basral: Kerugian Besar Bangsa Ini

Sastrawan Akmal Naseri Basral memberikan catatan tak adanya tema kebudayaan dankesenian dalam debat capres-cawapres pada Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Pemerintah Bone dan Aparat Bubarkan Paksa Pementasan Seni Bissu

22 Agustus 2023

Pemerintah Bone dan Aparat Bubarkan Paksa Pementasan Seni Bissu

Panitia menyebut Gubernur Sulawesi menyekal bissu sehingga penampilan seni monolog "Rindu Bissu" pun dilarang.

Baca Selengkapnya

Sejarah Adu Domba Garut, Kesenian Tradisional asal Jawa Barat

4 Juli 2023

Sejarah Adu Domba Garut, Kesenian Tradisional asal Jawa Barat

Domba Garut yang memiliki ciri khas pada fisiknya sering diikut sertakan dalam kontes atau diadu. Inilah asal usulnya.

Baca Selengkapnya

WM Mann Scholarship, Beasiswa Seni Pertunjukan di Skotlandia Khusus Mahasiswa Indonesia

24 Februari 2023

WM Mann Scholarship, Beasiswa Seni Pertunjukan di Skotlandia Khusus Mahasiswa Indonesia

Royal Conservatoire of Scotland dan WM Mann Foundation menawarkan beasiswa pascasarjana khusus mahasiswa Indonesia di bidang seni pertunjukan.

Baca Selengkapnya

Seniman dan Guru di Bandung ini Gelar Pameran Tunggal Gambar Berjudul Dunia

20 Januari 2023

Seniman dan Guru di Bandung ini Gelar Pameran Tunggal Gambar Berjudul Dunia

Dede Wahyudin, memajang 67 gambar ukuran kecil dan empat berukuran besar yang dominan berwarna hitam putih dalam pameran tunggal itu.

Baca Selengkapnya

Jadi Ketum LASQI, Gus Jazil Bertekad Gairahkan Kesenian Islami

17 November 2022

Jadi Ketum LASQI, Gus Jazil Bertekad Gairahkan Kesenian Islami

Kesenian Islam di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa besar

Baca Selengkapnya

Masyarakat Kesenian Jakarta Minta Rencana Acara Musyawarah Versi DKJ Dihentikan

27 Oktober 2022

Masyarakat Kesenian Jakarta Minta Rencana Acara Musyawarah Versi DKJ Dihentikan

Masyarakat Kesenian Jakarta (MKJ) menilai musyawarah yang akan dilakukan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tidak sesuai dengan Pergub DKI

Baca Selengkapnya