TEMPO Interaktif, Solo: Air sungai Bengawan Solo meriak. Empat sampan berbaris sejajar membentuk garis. Di salah satu satu sampan yang berdayung galah itu duduk seorang ratu dan raja lengkap dengan payung kebesaran. Sejumlah prajurit keraton dan tentara kerajaan tegap mengawal mereka. Sampan pun berlabuh dan sebuah lukisan hidup dengan sungai sebagai kanvasnya.Suasana kedatangan Paku Buwono X dan Ratu Wilhelmina seratus tahun lalu itu diangkat sebagai sebuah karya seni oleh Dwi Rahmani, dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI), Minggu lalu. Sekitar seratus tahun silam, raja terbesar keraton Surakarta itu bersama Ratu Wilhelmina memang datang ke Dusun Kembu, Desa Waru, Kecamatan Kebakkramat, Karanganyar. Dusun ini berada pada pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Sungai Cemara. Orang-orang setempat pun menyambutnya dengan pesta pora. Tayub digelar, jenewer (minuman keras) pun diedarkan. Rahmani mempertemukan dua arus peradaban, realitas yang terjadi pada saat ini dan mitos atas kehadiran sang ratu dan raja di Dusun Kembu itu dalam karyanya yang berjudul Arus. "Dia melakukan rekonstruksi kritis ke dalam sebuah pertunjukan," kata rektor Institut Kesenian Jakarta, Sardono W. Kusumo.Pernyataan Sardono terlihat pada dua sampan yang tak ikut menepi. Penumpangnya justru asyik dengan barang bawaan mereka, seperangkat gamelan dan saksofon yang dimainkan di dua sampan terpisah. Gamelan mengiringi sang raja dan saksofon untuk sang ratu. Perpaduan iringan dua jenis alat musik yang berbeda itu membuat Bengawan Solo menjadi panggung konser musik kontemporer. Sardono hadir dalam pementasan karya itu sebagai pembimbing Dwi Rahmani, yang tengah menyelesaikan program pascasarjananya. Sardono menyebut karya dosen tari gaya Surakarta di STSI Solo itu sebagai sebuah lukisan surealis, perpaduan realis dengan imajinasi mengenai sesuatu. Dalam Arus, Rahmani memang tetap menghadirkan keseharian masyarakat di tepi Bengawan Solo tersebut. Misalnya, kebiasaan orang-orang yang mencari pasir dengan cara gogo, yakni dengan cara menyelam dan memasukkan pasir dalam sampan. Saat sudah menjadi gunungan kecil, timbunan pasir itu dibawa ke tepi sungai. Para istri pencari pasir sudah menunggu dengan bakul untuk mengusung pasir ke tepi jalan. Di sela-sela waktu menunggu kedatangan calon pembeli, warga setempat menjaring ikan. Sementara itu, para istri membuat kerajinan batik tulis. "Saya mencoba menggabungkan fakta mitos dengan fakta realitas keseharian," kata Rahmani.Sejarawan Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Sudarmono, yang menjadi salah satu penguji karya itu, mengatakan kedatangan Paku Buwono X dan Ratu Wilhelmina sebenarnya bukan sebuah mitos belaka. Dari penelusurannya, dia menemukan sebuah bekas pesanggrahan di dusun itu. Bukti lainnya adalah tradisi membuat batik tulis yang merupakan sebuah kebudayaan di dalam keraton yang sampai saat ini masih hidup. Ini membuktikan dusun tersebut pernah bersentuhan langsung dengan sang raja. Dalam penggarapannya, Rahmani tidak secara tegas membedakan apa yang disebutnya sebagai fakta mitos dengan realita. Dia memang membuat pembabakan untuk menghadirkan episode kedatangan sang raja dengan dunia keseharian warga, tapi itu bercampur laiknya gado-gado. Kendati demikian, karya ini tetap menarik dinikmati dan memberi banyak inspirasi. l IMRON ROSYID
Berita terkait
Begini Kronologi Gol Bunuh Diri Pratama Arhan saat Timnas U-23 Indonesia Kalah Lawan Uzbekistan
1 menit lalu
Begini Kronologi Gol Bunuh Diri Pratama Arhan saat Timnas U-23 Indonesia Kalah Lawan Uzbekistan
Pratama Arhan membuat gol bunuh diri di menit ke-86 saat timnas U-23 Indonesia kalah lawan Uzbekistan pada semifinal Piala Asia U-23 2024.
Gunung Ruang Erupsi Lagi, 18 Penerbangan Dibatalkan
3 menit lalu
Gunung Ruang Erupsi Lagi, 18 Penerbangan Dibatalkan
Kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah VIII Manado, Ambar Suryoko mengatakan bahwa setidaknya ada 18 penerbangan yang terdampak erupsi Gunung Ruang.