Menghidupkan Ritual Buat Gamelan yang Nyaris Punah
Reporter
Editor
Minggu, 3 Juni 2012 03:04 WIB
Alat musik tradisional khas Jawa Barat dari bahan perunggu ini banyak dipesan oleh negara Peru, Italia, Beijing, Jepang dan Malaysia dengan harga mulai dari 38 juta sampai 175 juta. TEMPO/Aditya Herlambang Putra
TEMPO.CO , Sukaharjo: Bukan sekadar membuat gamelan. Saroyo, salah satu perajin asal Wirun, Sukoharjo, mencoba menghidupkan kembali ritual tradisional dalam membuat gamelan. Sebuah ritual yang telah menghilang selama puluhan tahun.
Sekelompok orang berpakaian adat Jawa lengkap duduk mengelilingi sesajian pepak ageng di atas sebuah meja, Sabtu, 2 Juni 2012. Asap dupa dan kemenyan mengepul di serambi depan besalen, tempat membuat gamelan. Mereka menggelar doa bersama untuk kelancaran proses pembuatan seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Berkah.
Di dalam besalen, belasan pekerja berpakaian hitam menyiapkan perapian. Semuanya memakai ikat kepala warna hitam. Mereka memasukkan berkarung arang dan menyalakannya. Api lekas membesar melalui blower yang ditiupkan.
Setelah doa bersama usai, mereka pun memasukkan tembaga ke dalam api, selanjutnya untuk diproses untuk menjadi gong. Tidak lupa, emas batang berukuran kecil dimasukkan dalam tembaga yang mulai berpijar.
Ritual yang dilakukan dalam membuat gamelan itu telah hilang selama puluhan tahun dari pusat kerajinan gamelan tersebut. Menurut ingatan Saroyo, ritual terakhir dilakukan sekitar 1970-an. “Saat itu ritual dilakukan saat ada pesanan gamelan dari Keraton Yogyakarta,” katanya.
Alasan hilangnya ritual itu juga cukup klasik. “Penghematan biaya dan waktu,” kata Saroyo. Umumnya, pemesan gamelan enggan mengeluarkan biaya tambahan untuk penyelenggaraan ritual. Dari sisi perajin, ritual itu memakan banyak waktu. Padahal mereka membayar para pekerjanya dengan upah harian.
Saroyo sengaja menghidupkan kembali ritual itu lantaran permintaan dari pemesannya. “Pemesan menginginkan seperangkat gamelan beserta budayanya,” katanya. Dia pun menggandeng spiritualis dari Keraton Surakarta untuk melaksanakannya. “Saya sudah telanjur lupa syarat-syaratnya,” katanya.
Saroyo membutuhkan waktu hingga lima bulan untuk menyelesaikan pesanan perangkat gamelan lengkap tersebut. Dia telah menyiapkan berbagai bahan, termasuk 10 kuintal tembaga serta empat kuintal timah. Sayang, dia enggan menyebut harga yang dipatok untuk pesanan ini.
Pemesan gamelan, Tjokrohadiningrat, menyebut gamelan bukan sekadar alat musik. “Gamelan merupakan hasil kebudayaan asli Bangsa Indonesia,” katanya.
Karena alasan tersebut, dia sengaja memesan gamelan yang lengkap dengan budaya dan ritual dalam pembuatannya.