Unit Foto UGM perlu dua minggu melakukan persiapan untuk mendokumentasikan Garebeg Dal yang berlangsung pada 25-26 Februari 2010. Hasilnya memang tidak sia-sia. Selain memperoleh momen yang bisa diakses publik, mereka juga mendapatkan dokumentasi kegiatan di dalam keraton yang tidak bisa diakses publik.
“Kami memang menugaskan Mas Budi Darmawan untuk merekam peristiwa di dalam keraton. Kebetulan dia memang punya akses ke dalam keraton,” kata Brama Danuarta Ramadhani, salah satu anggota tim.
Budi Darmawan berhasil mendokumentasikan persiapan yang berlangsung di dalam keraton, seperti aktivitas nasi kepal (ngepeli sego) yang dipimpin langsung oleh GKR Hemas. Dengan pakaian pranakannya, Budi Darmawan juga berhasil mendapatkan foto ketika Sultan Hamengku Buwono X sedang Njejak Bata di kompleks masjid Gede Kauman. Sangat jarang fotografer yang berhasil mendapatkan foto seperti itu karena fotogarfer akan selalu kalah adu otot dengan ribuan massa yang siap memperebutkan susunan batu bata yang runtuh setelah ditendang Sultan.
“Saya mendapat posisi yang baik. Tinggal jepret, eh ternyata ada kepala yang nongol di depanku,” kata Budi. Hasil jepretan Budi ini memang sedikit terganggu oleh munculnya kepala yang menutupi kaki Sultan yang sedang menjejak tumpukan batu bata.
Sebagai sebuah dokumentasi peristiwa, materi pameran “Eight Yearly Garebeg” hasil karya 10 fotografer Unit Foto UGM ini tergolong lengkap. Anggota Unit Foto UGM cukup jeli menangkap momen-momen menarik di balik peristiwa besar Garebeg Dal. Misalnya, pembagian sandal baru untuk Abdi Dalem Abangan hasil karya Ahnad Bahtiar, juga momen ketika prajurit kraton yang sedang menerima pembagian honor seusai menunaikan tugasnya.
Momen penting dalam Garebeg Dal ada dua, yakni prosesi Njejak Bata yang dilakukan Sultan di kompleks mesjid Gede Kauman serta munculnya Gunungan Bromo. Berbeda dengan gunungan lainnya yang diperebutkan oleh masyarakat di halaman masjid Gede Kauman, Gunungan Bromo khusus diperebutkan oleh kerabat keraton dan abdi dalem di dalam keraton.
Gunungan Bromo yang harus diperebutkan di dalam keraton itu membuat ia harus dikawal ketat aparat kepolisian dan bahkan harus mengerahkan personel Marinir agar tidak habis dijarah masyarakat di halaman masjid. Gunungan Bromo memang harus didoakan oleh ulama di halaman masjid, bersama gunungan lainnya. Ketika gunungan lain menjadi rebutan masyarakat, Gunungan Bromo harus dibawa kembali ke dalam keraton dalam keadaan utuh untuk diperebutkan kerabat dan abdi dalem.
Budi Darmawan berhasil mengabadikan momen saat Gunungan Bromo itu menjadi rebutan abdi dalem, disaksikan langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X berserta permaisuri dan kelima putrinya. “Sayangnya, waktu itu para pturi Sultan tidak ikut berebut gunungan,” kata Budi Darmawan.
HERU CN