Ako sampa anrai
Surang pako kassi malete ri bombang
Bulan purnama
Belasan tahun silam, di Makasar, syair lagu itu sering dinyanyikan oleh anak-anak dengan bermandikan cahaya bulan purnama. Seniman dari Makasar, Hamrin Samad mencoba membawakan nyanyian di masa kecil itu ke atas panggung Solo International Contemporery Ethnic Music (SIEM) Festival 2010 di Stadion Sriwedari, Solo, Jawa Tengah, pada Jumat malam lalu.
Nyanyian yang konon hampir punah itu diiringi dengan beberapa alat musik tradisional. Di antaranya adalah kecapi, pui-pui, gendang Makasar, dan gambus. Total alat musik yang digunakan ada 19 jenis, dimainkan secara bergantian oleh kelompoknya.
Berbagai alat musik tersebut dimainkan dengan irama yang cukup cepat. Sejatinya, nyanyian yang diirngi dengan berbagai alat musik itu harusnya dibawakan sembari menari. Namun lantaran mengedepankan unsur musik, tarian khas anak-anak tidak ditampilkan pada malam itu.
Penampilan selama 30 menit itu sengaja menggunakan alat musik tradisional. “Sesuai dengan aslinya di masa lampau,” kata Samad.
Gaya eksperimental justru disajikan musisi dari Zimbabwe, Albert Chimedza. Dengan cukup sempurna, dia berhasil mengkolaborasikan alat musik mbira dengan alat musik gamelan Jawa.
Mbira merupakan alat musik khas dari Zimbabwe. Bentuknya seperti mangkok besar yang terbuat dari besi. Di dalamnya terdapat beberapa dawai yang menimbulkan bunyi mendengung jika dipetik.
Proses eksperimen untuk menggabungkan mbira dengan gamelan berlangsung selama dua tahun. Albert mengaku tertarik dengan gamelan saat menyaksikan penampilan kelompok karawitan pimpinan Peni Chandra di Zimbabwe. Albert pun mencoba merancang mbira dengan menggunakan tangga nada sesuai musik gamelan. Hasil eksperimennya ditampilkan pada hari ketiga SIEM 2010. Ia berkolaborasi dengan kelompok karawitan Peni Chandra.
Perangkat gamelan juga digunakan komposer asal Solo, Blacius Subono. Komposer yang memiliki segudang pengalaman itu menyajikan dua karya dalam pementasannya. Karya pertama berjudul Kahanan Jaman Edan yang dimainkan secara acapella oleh 40 personelnya. Karya itu terinspirasi dari sebuah buku karya pujangga Rangga Warsita. Lagu tersebut menggambarkan sebuah keadaan dimana manusia mulai menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan.
Perangkat gamelan digunakan dalam karya kedua yang berjudul Suryo Gumlewang. Gamelan Jawa dimainkan dengan cara yang kurang lazim, sehingga unsur gamelan dari Bali dan Sunda turut masuk ke dalamnya, meski tidak dominan. Subono yakin, cara itu cukup ampuh untuk menghindarkan penonton dari kebosanan.
Sebagai musisi tuan rumah, sambutan dari penonton cukup gegap gempita meski Subono menjadi penyaji paling akhir di hari ketiga SIEM Festival 2010 itu. Apalagi, komposer sekaligus dalang tersebut dikenal sudah berulangkali pentas di luar negeri untuk memamerkan karyanya.
Sebelum Subono tampil sebagai penutup malam itu, kelompok Orkestar Trio dari Singapura tampil dengan membawakan tiga karya. Mereka memainkan beberapa alat musik tradisional Melayu dipadukan dengan musik elektrik. Meski demikian, alat musik etnik yang digunakan seperti gendang Melayu, cello, dan seruling cukup mendominasi penampilan mereka.
AHMAD RAFIQ