TEMPO.CO, Jakarta - Penyelenggaraan Festival Film Indonesia tahun ini mengangkat tema “Tribute to Teguh Karya”. Panitia FFI 2015 yang diketuai Olga Lydia menganggap Teguh Karya layak mendapatkan apresiasi ini karena berpengaruh besar dalam perfilman Indonesia.
Banyak film tersohor yang dihasilkan Teguh Karya, seperti Cinta Pertama (1973), Badai Pasti Berlalu (1977), Di Balik Kelambu (1983), dan Pacar Ketinggalan Kereta (1988). Tidak hanya menghasilkan karya tersohor, Teguh Karya juga banyak menciptakan sumber daya yang berkompeten, salah satunya Nano Riantiarno, pendiri Teater Koma.
“Beliau sangat layak (mendapat apresiasi dari FFI). Beliau punya andil besar dalam seni pertunjukan dan film,” kata Nano Riantiarno, 66 tahun, kepada Tempo saat ditemui di Galeri Indonesia Kaya Grand Indonesia, Jakarta, Kamis, 29 Oktober 2015.
Nano o pun mengingat hari-harinya bersama Teguh Karya, yang saat itu menjadi gurunya di Teater Populer. Nano bergabung dengan Teater Populer pada usia 17 tahun bersama sahabatnya, Slamet Rahardjo Djarot. Lucunya, mereka baru pertama kali pentas setelah lima tahun kemudian.
“Dia (Teguh Karya) itu orang gila. Selama lima tahun, kami enggak boleh ngapa-ngapain. Anak-anak enggak ada yang berani bertanya kapan pentasnya,” ucap Nano.
Selama lima tahun itu, anggota Teater Populer hanya diberi “kuliah” oleh Teguh Karya. Mereka diberi pengetahuan dasar soal seni peran selama satu tahun dari pukul 08.00-16.00 WIB di sanggarnya di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Empat tahun berikutnya, mereka hanya dijejali dengan diskusi dan dicekoki buku-buku koleksi perpustakaan pribadi Teguh Karya.
“Rasanya seperti di pesantren. Kami cuma dikasih kuliah. Pembahasannya apa saja, bisa soal teater, budaya, politik, bahkan kesehatan,” ujar suami Ratna Riantiarno itu.
Nano juga bercerita, dia dan Slamet Rahardjo menginap di sanggar yang dibangun dari kayu. Lucunya, sanggar itu dibangun sendiri oleh Teguh Karya dan murid-muridnya dengan memakai kayu colongan.
“Kami bikin sendiri sanggarnya. Kayunya itu nyolong. Di dekat situ, ada kayu-kayu yang enggak terpakai, jadi ya kami colong,” tutur Nano sambil tertawa terbahak-bahak.
Teguh Karya mendirikan Teater Populer pada 14 Oktober 1968 dengan nama awal Teater Populer Hotel Indonesia. Karya pertama yang digarap Teater Populer adalah naskah pendek Antara Dua Perempuan karya Alice Gestenberg dan Kammerherre Alving (Ghosts) karya Henrik Ibsen.
Selain Nano dan Slamet Rahardjot, masih banyak seniman film yang lahir lewat gemblengan Teguh Karya, seperti Christine Hakim, Frank Rorimpandey, Henky Solaiman, Alex Komang, dan Niniek L. Karim.
LUHUR TRI PAMBUDI