TEMPO.CO, Yogyakarta - Drum-drum yang dicat hitam dan penuh coretan cat warna merah disusun tumpang tindih di pintu masuk ruang pameran Biennale Jogja XIII-Equator #3 di Jogja National Museum, Ahad, 1 November 2015. Susunannya berundak. Ada yang paling tinggi dan paling rendah.
Tak sekadar menjadi latar panggung pembukaan pameran yang mengambil tema “Hacking Conflict –Indonesia Meets Nigeria”, drum-drum bekas wadah minyak itu sekaligus menjadi karya seni instalasi suguhan Victor Ehikhamnor. Seniman asal Nigeria itu mengulas kenangan pasca-1998. Bukan soal kejatuhan Presiden Soeharto di Indonesia, melainkan soal meninggalnya Presiden Nigeria Sani Abacha tiga pekan usai reformasi Indonesia.Drum-drum itu tak sekadar menggambarkan persamaan Indonesia-Nigeria sebagai negara penghasil minyak. Namun ada persoalan manajemen sumber daya alam di sana, degradasi kaya dan miskin di negeri yang berlimpah minyak. Hingga muncul pemberontakan rakyat yang dilawan militer.
“Meski konflik, tapi justru dari situ muncul kreativitas berekspresi seniman karena meretas konflik,” kata Kepala Dinas Kebudayaan DIY Umar Priyono yang hadir dalam pameran tersebut, Ahad, 1 November 2015.
Baca juga:
Eksklusif: Terkuak, 40% dari Harga Obat Buat Menyuap Dokter
Pemain Chelsea: Mending Keok Ketimbang Menang buat Mourinho!
Direktur Biennale Jogja XIII Alia Swastika pun menegaskan, bicara soal Indonesia dan Nigera bukan melulu bicara soal persamaan dan perbedaannya. Namun, menciptakan peluang untuk mendayagunakan potensi persamaan dan perbedaan kedua negara anggota Konferensi Asia Afrika untuk membangun gerakan masyarakat sipil pascakolonial. “Kami undang seniman untuk membingkainya dalam karya seni,” kata Alia.
“Pengunjung jangan hanya nonton, tapi berpartisipasi karena karya ini tak adanya artinya tanpa partisipasi,” kata seorang kurator, Woto Wibowo, yang rambutnya dicat hijau dan beken disapa dengan Wok The Rock.
Selama 40 hari sejak pameran dibuka, warga akan diajak menggali kembali pengalaman mereka menghadapi konflik. Bukan untuk memberi stigma negatif atas konflik bahwa Nigeria bukan negara teroris Boko Haram dan virus mematikan Ebola.
Atau, Indonesia banyak koruptor, banyak bencana alam. Namun menyulap konflik untuk didayagunakan sebagai hal positif, seperti aneka isu persoalan kota, sejarah, globalisasi, sumber daya, produksi, juga persebaran ilmu pengetahuan.
Karya Victor disusun sejajar dengan karya perupa kelahiran Jakarta, Maryanto, yang diberi judul “Sweet Crude, Black Gold”. Dia membuat karya dua dimensi dari papan kayu yang dicat dengan akrilik. Ada lukisan rantai yang putus, juga kepulan asap yang menghitam.
“Bicara minyak di Nigeria dan Indonesia adalah bicara kesamaan nasib. Sekaligus mencari jalan terang atas nasib,” kata Maryanto.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Baca juga:
Eksklusif: Terkuak, 40% dari Harga Obat Buat Menyuap Dokter
Pemain Chelsea: Mending Keok Ketimbang Menang buat Mourinho!